Lihat ke Halaman Asli

Goenawan

Wiraswasta

Apa Salah Anas Urbaningrum?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13891197531352402478

[caption id="attachment_304651" align="aligncenter" width="630" caption="Sumber Gambar: Optimus animasi, www.facebook.com/pages/Optimus-Animasi/1503370116555357"][/caption]

Hari ini Anas Urbaningrum mangkir dari panggilan KPK. Butet Kartarejasa bilang dalam twittnya, Anas pilih Hari Jumat karena Selasa ga tergolong keramat.

Di satu sisi kita senang KPK tegas memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Di sisi lain, kita prihatin, demokrasi kita terlalu mahal harganya. Bukan rahasia lagi, untuk bisa menjadi anggota DPRD, DPR atau kepala pemerintahan sangat mahal. Perlu lobi ke partai pengusung, perlu akomodasi kampanye, perlu tim relawan yang semua itu tidak pernah ada yang gratis.

Sebagai pembanding kita ambil contoh Jokowi Ahok, memenangkan pilkada DKI Jakarta. Berikut ini cuplikan berita dari tempo.co di http://www.tempo.co/read/news/2012/08/03/228421246/Dana-Kampanye-Rp-16-Miliar-Ini-Reaksi-Jokowi

"Berdasarkan hasil audit yang dilaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, penerimaan kubu Jokowi-Ahok tercatat Rp 16,31 miliar sementara pengeluaran mencapai Rp 16,09 miliar. Mayoritas dana digunakan untuk spanduk, alat peraga serta bahan kampanye. Penyebaran bahan kampanye mencapai Rp 4,2 miliar, alat peraga berjumlah Rp 2,6 miliar, dan rapat umum Rp 2,1 miliar. Untuk iklan cetak dan radio, kubu Jokowi hanya mencapai Rp 729 juta dan Rp 516 juta."

16 Milyar tentu bukan jumlah yang sedikit, jika dibagi 5 tahun masa pemerintahannya. Maka akan setara dengan Rp. 3.2 Milyar setahun, atau  Rp. 267 juta per bulan. Jika di banding gaji resmi Gubernur, Wakil Gubernur DKI masing masing, Rp. 5.1 juta/bulan dan Rp. 4.1 juta/bulan. Maka angka Rp. 267 juta /bulan menjadi tidak logis.

13891214722001553570

Sedangkan menurut Fitra pendapatan Jokowi sebagai Gubernur DKI mencapai, Rp. 741 juta per bulan. Tetapi itu berkali kali dibantah Jokowi dengan mengatakan itu dana taktis operasional yang tidak dipakai secara pribadi. Inilah wilayah abu - abu yang menjadi seperti jebakan. Jika benar ada Kepala Daerah yang tidak korupsi (nilep uang negara), pertanyaannya uang siapa yang dipakai untuk kampanye yang jumlahnya belasan sampai puluhan milyar? Adakah orang yang benar - benar tanpa pamrih mengumpulkan jumlah uang yang begitu besar? Sementara sering kita lihat berita gara gara uang sepuluh ribu rupiah nyawa melayang. Jika Jokowi ahok saja, yang sering dipersepsikan sebagai orang bersih dipertanyakan kejujurannya. Apakah kita bisa percaya ada pejabat yang bersih di negeri ini? Menjadi pasien KPK hanya soal urutan dan nasib baik. Jika di telisik cermat, saya yakin tidak ada pejabat yang bisa memberi penjelasan soal asal - usul hartanya. Sekalipun Ahok yang sering berlagak berani buka - bukaan, soal slip gajinya. Jika semua pejabat tidak ada yang bersih, jadi siapakah yang salah? Ya sistemnya. Yang pertama harus diatur, biaya kampanye dibatasi seminimal mungkin. Jadi tidak dimungkinkan politik uang atau kampanye yang mengandalkan kekuatan uang bukan program dan platform politiknya. Yang kedua, harus diberi sanksi tegas, pembatalan kemenangan bagi calon yang melanggar. Selama ini sanksi pelanggaran hanya omong kosong, jadi tidak heran dalam setiap pilkada, semua kontestan pada prinsipnya melanggar aturan pilkada. Jika hal tersebut tidak diwujudkan, maka cerita Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dsb akan selalu terulang. Negeri ini akan rugi, karena telah menjebak generasinya sendiri pada kasus - kasus korupsi yang tidak pernah ada habisnya dengan sistem yang salah. Jadi apakah salah Anas Urbaningrum? Korupsi? Apakah Jokowi Ahok tidak?



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline