Lihat ke Halaman Asli

Pegunungan Serayu Selatan (Bagian 4 Terakhir)

Diperbarui: 26 Oktober 2024   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

              Trek bagian akhir ini memang tidak seberat trek awal awal perjalanan yang harus ditempuh dengan melewati kali sapi dan ladang singkong juga ladang jagung. Namun mentari yang semakin tinggi dan adanya luka di telapak kaki bagian depan dan luka di kedua lutut saya membuat trek ini terasa berat, sangat panjang dan tidak kunjung selesai. Jalanan yang menurun membuat saya berjalan semakin cepat karena pengaruh gaya gravitasi. Kondisi jalan yang menurun ini membuat tumit saya bekerja ekstra keras untuk melakukan pengereman. Cara berjalan seperti ini di jalanan yang menurun membuat beban berlebih di kedua lutut saya yang terluka. Mungkin karena saya baru pertama kali berjalan sejauh ini, gesekan yang terus menerus di persendian lutut saya membuat rasa nyeri yang tidak tertahankan. Rasa nyeri ini memaksa saya dan rombongan tim penyapu harus berhenti di dekat air terjun waduk sempor.

          Air terjun waduk sempor sebenarnya adalah air terjun yang terbentuk karena pembangunan dam di sungai yang mengalir menuju Waduk Sempor. Dam ini dibuat dengan tujuan untuk menaikan permukaan air sungai untuk keperluan irigasi atau pengairan lahan pertanian warga desa Sempor. Dam ini juga berfungsi menampung material batu batuan yang terbawa aliran sungai supaya tidak terbawa semuanya menuju Waduk Sempor. Tujuannya untuk memperlambat pendangkalan Waduk Sempor yang diakibatkan karena material yang terbawa air sungai karena erosi. 

         Lokasi ini kurang lebih 1.5 km dari jembatan sikebo. Jadi kurang dari setengah kilometer lagi kami bisa menikmati pemandangan waduk sempor dari jalan yang akan kami lewati. Di tempat ini kami mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Indahnya pemandangan dan merdunya gemericik air yang mengalir di antara bebatuan membuat saya cepat melupakan rasa nyeri di lutut saya. Setelah menghabiskan air kelapa muda yang saya masukan ke dalam plastik  berukuran setengan kilo semangat saya pulih lagi untuk meneruskan perjalanan mengalahkan rasa sakit yang masih terasa di telapak kaki dan nyeri di persendian kedua lutut saya.  Dari tempat saya duduk bersandar di batang pohon pinus, bisa terlihat kakak kakak SMA turun ke sungai bermain air yang sangat jernih. Batu batu besar berserah di tengah sungai persih di bawah air terjun. Mereka saling bercanda memercikan air sungai ke tubuh temannya sehingga membuat pakaian yang mereka kenakan basah kuyup. Panasnya udara dan kaos yang saya kenakan basah kuyup karena keringat membuat rasa gerah yang mendorong keinginan saya untuk ikut bermain air dengan kakak kakak tim penyapu.

         "Mau kemana?" tanya kakak sepupu saya yang melihat saya mulai berdiri dan berjalan menuju sungai.

         "Kepengin mandi di sungai." jawabku singkat seolah lupa bahwa telapak kaki dan lutut saya sakit.

          Setelah diberi penjelasan panjang lebar oleh kakak sepupu saya, saya mengurungkan niat saya untuk ikut bermain air dengan kakak-kakak SMA. Saya mengikuti dan mengamini kata-kata kakak sepupu saya bahwa luka yang sering terkena air, apalagi air yang tercemar, akan memperlambat penyembuhan. Jadi sebisa mungkin luka kita jangan pernah terkena air yang tercemar.

           Akhirnya saya harus meneruskan perjalanan dengan berjalan mundur untuk menghindari beban yang berlebih di kedua lutut saya. Awalnya merasa aneh dan canggung berjalan mundur, tapi karena rasa nyeri dan sakit di lutut tidak terasa begitu kuat maka kuteruskan berjalan mundur sejauh kurang lebih lima ratur meter. Saya berhenti bukan karena saya tidak kuat jalan lagi melainkan kakak sepupu saya mengajak untuk menikmati gorengan khas Waduk Sempor. Gorengan tempe yang dibalut dengan tepung terigu dan  digoreng tidak begitu kering disajikan dalam keadaan panas sehabis diangkat dari minyak panas. Dan yang membuat ketagihan gorengan yang oleh orang Banyumas dinamakan gorengan Mendoan biasanya dinikmati dengan cabai rawit segar. Campuran rasa panas, gurih dan pedas inilah yang membuat kita yang menikmatinya akan makan dan makan terus sampai sajian gorengan Mendoan di atas meja kita habis. Akan berhenti untuk menyantap kalau perut kita terasa kenyang.

          Kali ini kuhentikan langkah mundur saya bukan karena rasa sakit di kaki yang saya derita, tapi karena alasan lain yang datang lewat mata saya. Hamparan pemandangan indah yang muncul di atas pucuk pucuk pohon pinus menarik mata saya sehingga langkah saya hentikan untuk menikmati sekaligus mengaguminya. Perpaduan sinar mentari yang akan terbenam dan kilau beningnya air waduk berpadu untuk membuat warna yang indah antara birunya langit, hijaunya air waduk yang memantukan hijaunya dedaunan pohon pinus dan warna kuning keemasan sinar mentari yang mau meninggalkan senja. Lukisan kembar pohon-pohon pinus tersaji dengan ciamiknya dengan air waduk sebagai batas nyata dan tiada karena terkadang disapu oleh angin semilir yang menimbulkan riak yang membuat pohon pohon pinus terbalik menari nari.

         Perjalanan ini menjadi tonggak bagi saya untuk menyukai alam dan akan sering berkelana menikmati ciptaan Tuhan yang indah apa adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline