Lihat ke Halaman Asli

Pegunungan Serayu Selatan (Bagian satu)

Diperbarui: 24 September 2024   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Gunung_Slamet_dan_Pegunungan_Serayu_Selatan

1 Pegunungan Serayu Selatan (Puncak tertinggi G. Lanang 1.102 meter dpl)

Impian semua pendaki gunung salah satunya adalah menaklukkan semua atap tertinggi di dunia. Mimpi itu bermula saat saya diajak oleh saudara sepupu saya yang jadi guru di sebuah SMA negeri di sebuah kota di Jawa Tengah untuk ikut kegiatan out door anak SMA. Kecintaan saya akan alam dan jalan jalan mulai tumbuh. Dari saat itu pemahaman saya tentang belajar mulai berubah. Bahwa belajar tidak hanya duduk di bangku sekolah mulai saya praktekan. 

Kami sudah berada diatas bak terbuka truk tiga perempat sejak jam setengah empat pagi. Jalanan masih gelap sehingga kami masih bisa melihat bintang bintang di langit. Belum ada lampu lampu neon atau merkuri di pinggir jalan. Tahun 1979 di kota kami belum semua keluarga bisa menikmati listrik. Itu bisa jadi karena keluarga itu tidak mampu menyambung Listrik PLN atau kebanyakan belum ada jaringan kawat listrik ke desa mereka. Truk yang membawa kami melewati jembatan peninggalan Belanda  yang diberi nama jembatan Pasren oleh penduduk setempat. Pasren adalah nama untuk menyebut tempat orang mengambil pasir di sekitar jembatan ini. Jembatan ini memang melintasi sungai besar yang akan menyediakan banyak material pasir saat musim hujan dan orang sekitar menambangnya di musim kemarau. Kita ingat saat batu akik booming di Indonesia, sungai ini menjadi sangat terkenal dengan batu green jasper dan panca warnanya. Untuk penggemar batu akik sungai ini ada di ingatan mereka. 

"Kita sedang bergerak ke arah timur," kakak sepupu saya mulai menerangkan, menjawab pertanyaan pertanyaan saya. Kala itu belum ada smart phone yang bisa membantu kita menunjukan arah mata angin. "Kalau sana arah mana?" saya bertanya sambil mengarahkan jari telunjuk saya ke arah kanan jembatan. "Itu arah selatan." dengan mudah sepupu saya menjawab. Kita harus mempunyai pengetahuan tentang IMPK (ilmu medan peta dan kompas) seandainya kita suka berkegiatan di alam liar. Dan salah satunya adalah membaca rasi bintang untuk menentukan arah. "Itu rasi bintang Crux yang membantu kita menentukan arah selatan." sepupu saya menjelasan sambil menunjuk sebuah kumpulan bintang di arah yang ditunjuknya. Rasi bintang crux adalah rasi bintang yang  memiliki ukuran paling kecil jika dibandingkan dengan rasi bintang lainnya. Rasi bintang Crux biasanya digunakan untuk menunjukkan arah selatan. Untuk bentuknya, rasi bintang ini tampak seperti layang-layang, maka kita sering menyebutnya dengan rasi bintang layang layang. 

Pertanyaan pertanyaan tentang rasi bintang dan jawaban jawaban yang disertai dengan keterangan panjang lebar oleh kakak sepupu saya membuat perjalanan kami tidak terasa. Apalagi beberapa murid kakak sepupu saya juga ikut nimbrung obrolan kami. Obrolan ngalor ngidul (orang Jawa bilang) yang sarat akan ilmu secara tidak disadari terekam dan tetap tinggal lama di memori saya. 

Perjalanan dimulai dari pinggiran sebuah sungai yang oleh penduduk lokal disebut dengan kali Sapi. Muara kali ini di sungai Serayu sungai terpanjang di Jawa Tengah yang airnya berakhir di samudra Hindia. Kami didrop di desa Karangjati, kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegar, propinsi Jawa Tengah dengan sebuah truk bak terbuka. 

Disaat mentari belum nongol sepatu saya harus basah karena terpeleset masuk ke air kali Sapi yang lumayan dingin. Perasaan tidak nyaman di kaki karena basah tidak membuat saya kendor untuk mengikuti kakak kakak SMA berjalan menyusuri trek yang lumayan terjal. 

Ladang singkong yang pertama kami lewati sudah mulai menceritakan bagaimana masyarakat sekitar kali sapi menghidupi kehidupan mereka. Di area yang terjangkau oleh irigasi sebagian ada yang menanam padi di lahan sawah basah. Matahari sudah agak tinggi ketika kami harus terus berjalan di space antara bedengan ladang jagung dan singkong. Gesekan daun singkong  terasa nyaman di kulit lengan saya. Pohon singkong dikanan saya baru setinggi dada dan terlihat tumbuh sangat subur. Pilihan ada ditangan petani untuk menentukan apa yang akan dipanen. Kalau mau memanen daunnya untuk dijual di pasar atau mau langsung diantar ke rumah makan Padang pasti mereka tidak akan mengharapkan akan memanen ubi yang besar bahkan singkong yang diambil daunnya ubinya hanya seperti akar. Kalau ingin memanen ubinya mereka perlu menunggu lama sekitar delapan sampai duabelas bulan untuk mendapatkan hasil ubi yang maksimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline