Lihat ke Halaman Asli

Saat Sang Pelukis Menemukan Bintangnya

Diperbarui: 24 Maret 2017   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Tepuk tangan dan gemuruh para undangan bergema memenuhi seluruh isi gedung. Ratusan mata menjadi saksi. Puluhan juru potret tengah sibuk melaksanakan tugasnya mengabadikan setiap momen di hari bahagia itu, seakan tak mau kehilangan satu detik pun dari hari bahagia yang tak akan pernah terulang kembali di dalam hidupku. Kami semua berdiri tegak bak barisan tentara. Wajah kami memancarkan suasana hati yang penuh rasa bangga dan bahagia yang tak dapat terucapkan dengan kata-kata. Mataku berkaca-kaca seolah tak pernah percaya sang topi toga kini sudah tertancap di atas kepala yang menandakan berakhir sudah masa ku di dunia perguruan tinggi ini. Gelar doktor sudah berhasil ku genggam.

     Kutatap jauh kedepan, seorang yang wajahnya mulai keriput, rambut yang kian memutih melambai-lambaikan tangannya padaku. Di kejauhan, matanya terlihat berkaca-kaca dan air mata kebahagiaan yang mengalir di pipi melihat sang buah hati kini telah berhasil menyelesaikan sekolah dan bersiap untuk memperbaiki kehidupan keluarga di masa mendatang. Menatap matanya, membuatku kembali ke masa dimana aku tak pernah ingin melewati masa itu dan menghapusya dai hidupku.

“Rika, belajarnya jangan sampai larut malam ya, besok kamu harus bangun pagi” kata ibu padaku.

“Iya bu,” sahutku.

      Iya, aku memang sangat sering belajar hingga larut malam. Bahkan biasanya aku ketiduran di meja belajarku. Setiap malam, sesudah makan malam aku biasanya duduk di meja belajar yang menghadap keluar jendela, menatap langit gelap yang bertabur ratusan ribu bintang nan indah. Kulukiskan mimpi-mimpi indahku di sana, berharap aku bisa membawa ibu dan adikku terbang bersamaku. Di sanalah, harapan akan masa depan keluarga ku yang lebih baik dapat terwujudkan agar ibu tak lagi harus bekerja keras membanting tulang untuk kebutuhan keluarga kami.

     Ibuku bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik tak jauh dari rumah. Ibu bekerja dari pagi hingga sore hari. Setiap kali aku ingin ikut dengannya untuk membantunya bekerja, ibu tak pernah memperbolehkanku. Andai saja sang pemeran utama pencari nafkah masih ada di sini bersama kami, mungkin nasib keluarga kami tak kan seperti ini. Ayah pergi sejak aku di semester akhir masa putih biruku. Itulah awal dari semua hal yang membuat kami harus lebih bekerja keras untuk sesuap nasi setiap harinya.

“Bu, Rika sama adik berangkat ya,”. Kataku pada ibu.

“Iya nak, tolong anterin ya adiknya sampai di sekolah. Kalian belajar sungguh-sungguh. Jangan malas di sekolah,” kata ibu.

“Iya bu, pamit ya,” jawab kami bersamaan.

Aku selalu berangkat sekolah lebih awal karena harus mengantar adikku terlebih dahulu. Jarak rumah dan sekolah pun cukup jauh. Aku biasanya naik angkot sekitar tigapuluh menit untuk sampai ke sekolah.

      Di sekolah, aku masuk di kelas unggulan. Untuk masuk sekolah ini pun sangat sulit bagiku. Saat akan pendaftaran masuk sekolah, keuangan keluarga sangat tidak mendukung. Ibu sedang tak punya uang untuk mendaftarkan ku ke sekolah pilihanku tersebut. Saat itu juga, aku berniat mencari uang tambahan untuk sedikit membantu ibu. Aku sangat bersyukur, karena saat pendaftaran aku masuk tiga nilai tes terbaik sehingga aku mendapat potongan biaya untuk pendaftaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline