Lihat ke Halaman Asli

Funpol

Penulis

Literasi Rendah, Perlunya Kita Belajar dari Ki Hadjar Dewantara

Diperbarui: 27 November 2022   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: detik.com

Setidaknya berdasarkan data survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan negara Indonesia berada di peringkat ke 62 dari 70 negara terkait dengan budaya literasi masyarakat. Artinya Indonesia berada pada 10 besar negara dengan tingkat literasi yang rendah.

Rendahnya tingkat literasi tersebut, boleh jadi karena lembaga pendidikan sebagai poros utama pembangunan sumber daya manusia (SDM) tak menunjang peningkatan pendidikan literasi kita. Akhirnya, anak-anak di sekolah mengalami kepasifan dalam proses belajarnya; ketumpulan nalar kritis murid.

Hal ini karena pendidik atau guru dijadikan sebagai sumber kebenaran mutlak. Guru sebagai subjek dan murid sebagai objeknya. Terkadang, pemberontakan murid kepada sang guru selalu dijadikan dalih kerusakan moral atau akhlak murid. Padahal belum tentu demikian.

Seperti kata-kata Soe Hok Gie, sejatinya guru bukan 'dewa' dan murid bukan 'kerbau.' Artinya, dalam lingkungan pendidikan, tak selalu apa yang keluar dari mulut sang guru adalah kebenaran mutlak, begitupun sebaliknya, murid juga bukan objek pasif yang tak bisa mengutarakan kebenaran yang sama. Kedunya terikat dalam relasi kolektif kolegial; saling memberi manfaat satu sama lain.

Kondisi lain yang turut memprihatinkan pendidikan nasional kita saat ini adalah peningkatan tunjangan guru yang tak sebanding lurus dengan peningkatan kompetensi guru itu sendiri. Hal ini berdasarkan riset Semeru tahun 2021.

Dalam riset tersebut menunjukkan kualitas lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru) prajabatan tak jauh berbeda dengan guru lulusan S-1 kependidikan. Tes pengetahuan materi dan pedagogi guru PPG memang lebih tinggi dibandingkan dengan non-PPG. Namun, kualitas murid yang diajar dengan guru PPG dan non-PPG tak jauh berbeda secara signifikan.

Artinya, kenaikan tunjangan guru tidak selalu mengantarkan seorang guru tersebut untuk meningkatkan perannya di dalam kelas. Hal ini perlu menjadi evaluasi bersama untuk kita semua.

Oleh karena itu, penting sekali menciptakan pendidikan sebagai sebuah sistem yang formil (lembaga pendidikan, sekolah, kurikulum, dll) yang diberengi dengan pendidikan sebagai sebuah kebudayaan. Salah satunya yaitu pendidikan kebudayaan dalam semangat literasi di tengah masyarakat.

Literasi di sini tentu saja memiliki makna yang tak sempit. Menurut KBBI, literasi dimaknai sebagai kemampuan menulis dan membaca, kemampuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Namun, di era digital 4.0 makna literasi mengalami perkembangan signifikan, literasi di era ini juga penguasaan terhadap literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia atau disebut sebagai literasi baru (new literacy). 

Tantangan untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat ke depan akan semakin kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi yang kreatif dalam menumbuhkan kesadaran literasi di tengah masyarakat yang semakin berkembang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline