Lihat ke Halaman Asli

Funpol

Penulis

Tragedi Kanjuruhan Bukti Gagalnya Reformasi Kepolisian

Diperbarui: 10 Oktober 2022   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: BBC

Semakin hari, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian semakin dipertanyakan. Beberapa kali jagat media sosial diramaikan oleh hastag #percumalaporpolisi. Di akhir tahun 2021 dunia maya juga ramai dengan cuitan No Viral No Justice, kondisi tersebut menunjukan bahwa masyarakat memandang keadilan baru akan diperoleh ketika kasusnya sudah viral. Sedangkan ketika belum menjadi sorotan nasional, seakan begitu sulit memperoleh keadilan.

Tidak ketinggalan #1hari1oknum sebagai bentuk protes masyarakat terhadap banyaknya anggota kepolisian yang seharusnya menjadi petugas penegak hukum, justru menjadi pelaku pelanggaran hukum. Tidak terhitung kasus penyiksaan dan salah tangkap yang dilakukan "oknum" kepolisian termasuk pada kejadian salah tangkap seorang pemuda di Madiun yang diduga sebagai Bjorka, tetapi ternyata setelah penangkapan akun tersebut masih dapat melakukan aktivitas media sosialnya.

Badai ketidakpercayaan diperkuat oleh survei yang pernah dilakukan Indikator Politik Indonesia pada bulan Agustus 2022, menunjukan Kepolisian Republik Indonesia menjadi lembaga penegak hukum dengan tingkat kepercayaan publik terendah dibawah Kejaksaaan Agung dan KPK. Kejaksaan Agung yang memperoleh tingkat kepercayaan 63,4 persen, dan KPK 58,8 persen, sedangkan kepolisian hanya 54,2 persen.

Hal tersebut diperkirakan akan terus menurun pasca masyarakat disajikan drama pembunuhan Brigadir Josua, dan tragedi di Kanjuruhan yang diyakini sebagian masyarakat tidak lepas dari tindakan aparat kepolisian yang menembakan gas air mata sehingga menimbulkan ratusan korban jiwa.

Kinerja kepolisian bukan hanya menjadi sorotan dalam negeri, tetapi pada pertandingan Liga Champion Eropa yang mempertemukan Bayern Munchen melawan Victoria Plazen. Sebuah spanduk yang dibentangkan oleh fans Bayern bertuliskan "lebih dari 100 orang dibunuh polisi" sebagai bentuk kepedulian terhadap kejadian di Kanjuruhan. Tidak salah jika sebagian masyarakat menyorot kinerja Polri pada kejadian tersebut, dan meyakini apabila polisi tidak mengeluarkan gas air mata maka korban jiwa tidak akan sebanyak itu.

Gas air mata yang ditembakan di areal terbuka bebas saja, begitu menyesakkan dada apabila terhirup. Lalu bagaimana jika itu terjadi di areal semi tertutup seperti stadion? Plt. RSSA Malang, Kohar menjelaskan bahwa rata rata penyebab kematian pada tragedi di Kanjuruhan akibat trauma dibagian kepala dan dada akibat terinjak, terjatuh, atau berdesakan. Kondisi tersebut mulai terjadi pasca gas air mata ditembakan sehingga para penonton berusaha menyelamatkan diri.

Rentetan tersebut menjadi anti thesis dan parameter adanya kegagalan dalam upaya reformasi ketubuh kepolisian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline