Lihat ke Halaman Asli

Fungky Iqlima Nasyidiah

Mahasiswa Pascasarjana ITB

Rohingya, Mereka yang Terusir dan Tertindas

Diperbarui: 25 November 2023   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Detiknews.com melaporkan sebanyak 249 pengungsi Rohingya yang tiba menggunakan kapal kayu di Bireuen, Aceh, ditolak warga setempat. Penolakan tersebut dilakukan karena pengungsi Rohingya dianggap merepotkan. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Joko Kridiyanto, mengatakan, warga bahkan sempat meminta pengungsi yang sudah turun ke darat kembali naik ke kapal karena menolak kedatangan mereka. Joko menambahkan, “Salah satu alasan penolakan yang berkembang, karena imigran Rohingya yang pernah terdampat sebelumnya berperilaku kurang baik dan tidak patuh pada norma-norma masyarakat setempat”. Pengguna aplikasi X, Ayu Ari, mengatakan bahwa “Rohingya ditolak bukan krn kita rasis. Dari 2014 udah diterima baik kok, tp kelakuannya ga sesuai norma di Aceh, kabur dari penampungan bahkan ada yang memperkosa perempuan Aceh. Wajar warga Aceh sudah ga mau lagi. Tiga hari berturut-turut Rohingya ini berdatangan hampir 500 orang”. Warga Aceh sempat memberikan bantuan berupa makanan, mineral dan mi instan, namun mereka membuang bantuan tersebut ke laut. Bukan hanya di Bireuen, pengungsi Rohingya juga ditolak dibeberapa wilayah Aceh, seperti wilayah Pidie.

Gagalnya Kapitalisme Memanusiakan Manusia

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa respons sejumlah pihak yang menolak ratusan pengungsi Rohingya dan meminta pengembalian mereka ke negara asal, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Usman pun mengatakan bahwa sikap tersebut sebagai kemunduran keadaban bangsa ini. Padahal ratusan nyawa berada dalam bahaya. Tim Amnesty mendesak pemerintah pusat dan pemerintah Aceh untuk segera dan tanpa syarat menyelematkan mereka, mengizinkan mereka turun dan selamat, menyedian bantuan kemanusiaan, keselamat dan tempat berlindung. Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, menilai absennya pemerintah pusat dalam hal penangan pengungsi Rohingya amat disayangkan, padahal bulan oktober lalu Indonesia terpilih dengan suara terbanyak sebagai anggota Dewan HAM PBB. Pernyataan yang sangat disayangkan, disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Muhammad Iqbal, bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi. Dan perihal pengurusan pengungsian telah diatur pada Perpres 125/2016. Mirisnya, Iqbal mengatakan, bahwa adanya banyak pihak yang memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), maka dari itu Indonesia perlu berhati-hati dalam menerima pengungsi. Dirinya pun menyindir negara lain yang meratifikasi konvensi tersebut, namun abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya, maka tidak menjadi masalah jika Indonesia hanya memberikan bantuan semata karena urusan kemanusiaan. Bukanlah menjadi kewajiban dan tidak memiliki kapasitas apalagi untuk memberi solusi permanen bagi para pengungsi.

Pengungsi Rohingya terkatung-katung dilaut, tak ada tempat tinggal layak, wanita dan anak-anak menjadi korban, tidak ada satupun negara yang mau menerima mereka. Apalagi mereka tidak memiliki status kewarganegaraan. Terlalu banyak risiko kejahatan yang akan menimpa mereka, salah satunya adalah perdagangan manusia. Apa yang menimpa pengungsi Rohingya tak hayal karena ulah Rezim di era Kapitalisme yang bertindak bebas. Di Myanmar, mereka tidak diterima, pemerintahnya melakukan genoside secara besar-besaran mengakibatkan mereka harus pergi dari tempat asalnya. Mereka bermigrasi ke India dan Bangladesh. Di India, mereka menjadi sasaran ujaran kebencian dan pelecehan oleh pihak berwenang. Muslim Rohingya sering ditahan tanpa pemberitahuan, tanpa batas waktu, tidak diberi akses ke pengacara manapun, tidak tahu bahwa mereka bisa mendapatkan bantuan hukum, hingga pemisahan paksa bayi dari ibunya. Bahkan, bagi yang ingin meninggalkan India dan memiliki pilihan untuk bermukim kembali di negara lain tempat kerabat mereka berada, visa keluarnya ditolak. Ditambah, masifnya Islamophobia semakin menyulitkan posisi Muslim Rohingya. Gagalnya sistem Kapitalisme menambah panjang cerita penindasan yang dialami oleh Muslim di seluruh Dunia. Bahkan lembaga internasional, PBB, yang merupakan lembaga yang katanya berada digarda terdepan untuk persoalan HAM tak mampu memberikan solusi pasti untuk permasalahan kemanusiaan ini.

Islam Mampu Menjadi Perisai Ummat

Perlakuan keji yang dilakukan oleh penguasa di Myanmar dan India serta abainya pemerintah Indonesia terhadap Muslim Rohingya bukanlah anomali. Sebaliknya, itu adalah bagian dari gambaran global yang memperlihatkan kelemhan kita sebagai muslim. Apa yang terjadi dengan pengungsi Rohingya di India, tida berbeda dengan yang dihadapi Uighur, Palestina, Cina, Bangsa Moro di Filiphina, Afrika maupun di negara lainnya. Jika menilisik sejarah, seluruh anak benua India telah diperintah oleh Islam dengan keamanan dan keadilan sejati. Bukti sejarah keberadaan mereka masih dapat dilihat. Dan tidak ada yang berhak untuk mendorong mereka keluar dari tanah asalnya. Bahkan jika mereka bermigrasi ke daerah lain, mereka akan disambut hangat baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintahnya.

Sebagaimana kaum Anshar yang membuka tangan menyambut kaum Muhajirin. Demikianlah Negara Khilafah akan memperlakukan setiap orang dengan tangan terbuka tanpa adanya diskriminasi apa pun. Kekuatan politik, ekonomi, diplomatik, bahkan militernya, akan menjadi benteng terhadap ancaman keamanan bagi setiap rakyatnya. Bangsa-bangsa lain akan tahu bahwa umat Muhammad SAW., walaupun sebagai minoritas di tanah mereka, tidak bisa dianggap enteng.

Imam atau khalifah adalah perisai. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, ia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya. Jika ia memerintahkan selain itu, ia akan mendapatkan siksa.” (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Khilafah akan memastikan bahwa tidak ada komunitas agama yang hidup di bawah naungannya, dicabut atau dibuat tidak berdaya akibat kefanatikan. Kebijakan luar negeri yang dibangun dan hubungannya dengan negara-negara lain juga berada di atas amar makruf dan melarang segala yang mungkar. Jika ada muslim yang teraniaya di mana pun, Khilafah akan segera mencegah penindasan terebut.

Dengan tidak adanya perisai ini, kaum muslim akan tetap beralih ke mekanisme cacat yang tersedia untuk hak-hak dan perlindungan mereka. Juga tidak akan ada muslim di negeri mana pun yang aman, terutama mereka yang hidup sebagai minoritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline