Lihat ke Halaman Asli

Analisis Pemanfaatan GSO untuk Kepentingan Negara Berkembang

Diperbarui: 10 Mei 2020   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkaitan dengan ruang angkasa, secara hukum internasional, penggunaan ruang angkasa sudah diatur sejak tahun 1967. Pengaturan tersebut merupakan suatu ketentuan dasar mengenai kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang tertuang dalam Outer Space Treaty 1967.[1] Hal ini  erjutuan agar tidak terjadi monopoli dan penggunaan secara tidak terkontrol sehingga berdampak buruk baik bagi negara lain maupun dunia secara keseluruhan. 

Tujuan pembentukan traktat ini adalah untuk mendorong kemajuan kegiatan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa untuk maksud damai,[2] meningkatkan upaya eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk kemanfaatan semua bangsa tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi atau ilmu pengetahuan, memperluas kerja sama internasional, baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun aspek hukum, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi serta penggunaan antariksa untuk maksud damai. 

Dan berkaitan dengan tanjung jawab internasional Negara atas kegiatan nasionalnya di antariksa diatur lebih jauh dalam Liability Convention 1972[3] yang merupakan penjabaran dari prinsip yang terkandung dalam pasal VI dan VII Outer Space Treaty.  

Orbit Geostasioner merupakan orbit geosinkron, yaitu orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya.[4] Sehingga sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap perbukaan bumi, sehingga antenna penangkap di bumi tidak perlu dirubah posisinya. Indonesia yang merupakan negara khatulistiwa terpanjang, secara geografis memiliki wilayah berada tepat dibawah kawasan GSO. 

Mengingat kondisi geografis tersebut dan juga mengingat manfaat GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi satelit untuk kepentingan bangsa Indonesia, maka pemanfaatan wilayah GSO sebagai orbit satelit oleh negara Indonesia harus dapat terjamin. 

Indonesia merupakan wilayah di bawah lintas GSO terpanjang, yaitu 13 persen dari total rentang orbit. Orbit Geostasioaer (GSO) merupakan suatu jalur orbit di atas padang khatulistiwa pada jarak ketinggian 35.871 km dari permukaan bumi dimana sebuah benda misalnya satelit yang ditempatkan di orbit sirkuler tadi memiliki waktu putaran yang sama dengan waktu rotasi bumi dan bergerak searah dengan bumi.  

Kepala Pusat Teknologi Satelit, Abdul Rahman, mengatakan saat ini Indonesia hanya memiliki tujuh slot orbit GSO dan tiga slot orbit non-GSO. Bahwa slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas. Untuk mendapatkan slot orbit tersebut diperlukan koordinasi jaringan satelit yang merupakan kewajiban dari pemilik atau operator satelit.[5] 

Berdasarkan hasil kesepakatan Nasional mengenai posisi dasar Indonesia mengenai lintas orbit GSO telah ditetapkan pada sidang paripurna kedua Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (Depanri) pada 10 Desember 1998. 

Sidang tersebut memandang bahwa lintas orbit GSO merupakan bagian dari antariksa dan perlu diatur dengan hukum khusus yang substansinya tidak bertentangan dengan Space Treaty 1967. 

Hukum ini juga tetap memperhatikan kepentingan negara-negara, terutama negara berkembang dan negara dengan letak geografi khusus seperti negara khatulistiwa. Beberapa aturan mengenai Konvensi Internasional yang mengatur soal ruang angkasa (antariksa) yaitu :

1. The Outer Space Treaty 1967 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline