Lihat ke Halaman Asli

Ibu Sekolah Pertamaku dalam Pernak-Pernik Kehidupan

Diperbarui: 7 Desember 2020   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis tentang ibu, tidak akan pernah habis kata untuk mendeskripsikan kasih sayang beliau. Perempuan cantik yang melahirkanku dan mewarnai semua karakter, tingkah laku, dan kesuksesan yang kuraih saat ini. Ibu tidak hanya mengajarkan pernik-pernik kehidupan. Namun, ibu adalah sekolah pertamaku dalam segala hal.

Sayangnya aku hanya 29 tahun merasakan didikan dan ajaran ibu. Ada rasa tak rela ketika ibu meninggalkanku tanpa kata perpisahan ataupun pesan yang tersampaikan. Masih kuingat banget pelukan terakhir dan bisikan ibu seakan itu baru kemarin terjadi, padahal sudah 14 tahun berlalu.

Mengingat ibu selalu membuat air bening menetes di kedua mataku. Aku merasa belum sempat membalas semua kebaikan dan kasih sayang beliau selama ini. Aku masih belum bisa menjadi anak yang berbakti. Masih begitu banyak keinginan untuk bersama ibu. Namun, apa daya semua hanya tinggal mimpi. Hanya doa yang bisa kusampaikan setiap habis salat fardu.

Belajar Ketegaran dan Kemandirian

Ajaran apa yang paling membekas dari ibu? Banyak banget. Salah satunya ketegaran dan kemandirian. Masih terpatri di ingatanku kala awal pindah ke kota kelahiran ibu. Mendiang ibu memulai semua dari awal. Ibu berdikari membiayai 3 anak yang masih kecil. Dengan menggendong adik yang masih bayi di punggung, beliau mencampur pakan ayam, membersihkan kotoran ayam di kandang, dan memberi makanan dan minuman untuk ayam yang dipeliharanya.

Kata lelah dan keluhan tidak pernah keluar dari bibir merah ibu. Beliau lakukan semua sendiri. Begitu juga ketika harus membiayai kuliahku. Satu kata sambat tidak pernah terungkap. Aku menjadi saksi bagaimana ibu berjuang untuk pendidikanku, kakak, dan adikku. Apapun beliau lakukan agar aku, kakak, dan adikku bisa sekolah dengan layak.

Ibu bahkan rela menempuh puluhan kilo untuk membayar uang SPP kakak dengan mengendarai sepeda onthel. Begitu juga ketika aku masuk pesantren. Setiap bulan, ibu menengokku dengan mengendarai sepeda onthel. Perjuangan ibulah yang membuatku pantang mengeluh hingga kini. Melihat wajah ibu yang tersenyum, sudah cukup membuatku bahagia.

Belajar Memaafkan

Ajaran ibu yang lain adalah tentang memaafkan. Aku butuh waktu lama untuk mencerna hal ini. Pasalnya cukup lama aku bisa memaafkan bapak yang seolah tidka peduli dengan pendidikanku. Namun, ibu selalu membisikkan ke telingaku, kalau bapak adalah orang baik.

Aku kecil belum juga bisa mencerna kata baik itu. Alasannya sederhana. Bapak tidak pernah hadir di masa kanak-kanakku. Aku hanya bertemu bapak ketika lebaran dan liburan. Itu pun diantar oleh kakek. Namun. Kata bapak adalah orang baik selalu ibu sampaikan. Begitu juga kakek dan nenekku, padahal mereka termasuk ikut andil perpisahan bapak dan ibu.

Aku baru bisa memaafkan bapak yang tidak hadir dalam hidupku ketika sudah bekerja dan ibu sudah tiada. Aku harus berdamai dengan bapak. Mungkin itu permintaan ibu yang baru bisa kulakukan ketika beliau sudah tidak ada. Entah hati ibu terbuat dari apa, begitu mudahnya beliau memaafkan bapak dan selalu menganggap beliau orang baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline