Lihat ke Halaman Asli

Penanggulangan bencana yang “nanggung” tanggung jawab siapa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Berbicara mengenai bencana, bisa kita katakan indonesia adalah negara paling komplit dan “kaya” akan bencana, mengingat wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Lempengan-lempengan tersebut sewaktu-waktu akan bergeser patah menimbulkan gempa bumi, dan jika jika terjadi tumbukan antarlempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami.

Mengingat “kaya”nya negara kita dengan bencana seharusnya Indonesia adalah negara yang paling siap dalam melaksanakan penaggulangan dan mitigasi bencana. Bagaimana tidak semua bencana pernah terjadi dinegara ini Gunung meletus, gempa bumu, tsunami, tanah longsor, kecelakaan peawat, sampai dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Selain itu juga sudah dibentuk BASARNAS, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sampai dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) disetiap Kabupaten.

Secara tertulis mungkin kita sudah mengerti tentang bagaimana sempurnanya dalam melakukan penanganan bencana, semua proses penanganan bencana melewati fase kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitas, dan rekonstruksi. Namun melihat kenyataan yang ada proses penanggulangan bencana masih “nanggung” sifatnya. Upaya penanggulangan yang selama ini masih bersifat material belum menyentuh pada aspek psikologis. Padahal berdasarkan observasi dilapangan upaya penanggulangan bencana yang sifatnya materiil pada saat fase tanggap darurat memunculkan banyak permasalahan psikologis disana.

Permasalahan psikologis yang muncul dan sering kita temui adalah mental konsumtif, hilangnya rasa kebersamaan (gotong royong) dan semakin bersifat individualistik. Dilain pihak setelah dinyatakan berakhirnya masa tanggap darurat banyak tenanga-tenaga yang selama ini mendampingi mereka satu-persatu meninggalkan mereka, padahal pada fase rehabilitasi inilah masa-masa yang paling penting dalam memberikan pendampingan kepada surivor. Kondisi seperti ini yang seharusnyamenjadi perhatian para relawan dalam memberikan pendampingan.

Berdasarkan pengalaman melakukan pendampingan pada tahun 2006 (Gempa bumi di Jogja), 2010 (letusan Gunung Merapi) dan 2014 (Letusan gunung kelud) pada fase rehabilitasi ini sudah tidak banyak ditemukan relawan yang memberikan pendampingan psikologis. Ketika saya mencoba berkomunikasi dengan pihak BPBD dan BNPB dan menawarkan kerjasama dalam melakukan pemulihan psikososial mereka mengatakan di BNPB tidak ada struktur deputi bidang psikososial, ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan “kenapa harus nanggung?”

Kita sebagai kaum akademisi (khususnya psikologi) selayaknya membaca dengan cermat setiap permasalahan yang muncul pasca terjadinya bencana, tidak rame sendiri (jawa: grubyak-grubyuk) dan latah dalam memberikan bantuan psikologis. Jika memang pemerintah melalui BNPB maupun BPBD tidak membentuk Deputi psikososial, sudah seharunya kita membentuk sendiri pusat-pusat penanganan psikososial di setiap univeritas. Pembentukan pusat ini adalah bentuk perhatian, rasa empati,dan jiwa kemanusiaan kita kepada masyarakat yang mengalami musibah, khususnya pada saat masa tanggap darurat dinyatakan selesai, sehingga dalam memberikan bantuan sifatnya tidak “nanggung”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline