Satu minggu kebelakang publik Youtube dan Twitter diramaikan oleh sebuah film pendek yang berjudul "Tilik".
Tilik sendiri berarti menjenguk, film ini mengisahkan rombongan ibu-ibu yang menempuh perjalanan dari desa menuju kota dengan truk pengangkut barang untuk menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit. Film ini sudah diproduksi sejak tahun 2018 dan dirilis pada pertengahan Agustus 2020.
Selain mengisahkan tilik Ibu Lurah, banyak cerita didalamnya yang memang mencerminkan kehidupan sehari-hari di Indonesia pada umumnya. Hal ini seperti, Silaturohmi, Budaya Gotong royong, Gosip, Hoax internet, dan Romantika Sugar Daddy, yang sepertinya mampu membius para penonton film ini, dari yang merupakan penikmat sastra sampai yang kesal dan penasaran dengan karakter Bu Tejo.
Terbukti sejak perilisannya di Youtube pertanggal 25 Agustus Tilik telah mencapai 10 Juta jumlah penonton, dan tagar Tilik dan Bu Tejo sempat bertengger di Tranding Topik Twitter.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari film Tilik, akan tetapi artikel ini akan membawa pembaca pada sudut pandang berbeda, yakni politik. Penasaran? Berikut penjelasannya.
Dalam film terdapat adegan dimana sopir truk berhenti di mushola karena permintaan ibu-ibu yang ingin buang air kecil, pada adegan tersebut digambarkan bahwa Bu Tejo memberikan uang kepada supir truk dengan alasan uang tambahan.
Tidak ada yang salah dengan adegan ini, hanya saja setelah itu, Bu Tejo dengan ciri khas gosipnya membicarakan bu lurah yang sudah tua dan renta, waktunya diganti dengan lurah baru yang cekatan, dan muda.
Walau sempat menampik bahwa suaminya akan mencalonkan lurah kedepannya ada aspek politik menarik dan secara tidak sadar merupakan cerminan dinamika politik di Indonesia khususnya di tataran daerah. Berikut ini penulis mencoba merangkum bagaimana pesan politik yang tersirat dalam adegan ini.
Pertama, Vote Buying. Adegan pemberian uang kepada supir truk tersebut dapat kita lihat sebagai indikasi vote buying dengan pola berharap perasaan balas budi.