Baru akhir September lalu Aceh menjadi perbincangan publik akibat pengharaman ngopi semeja non-muhrim. Walau banyak mengandung kecacatan pikir, sampai saat ini surat imbauan larangan ngopi semeja masih saja tetap berlaku. Kemudian aksi bupati Aceh Besar juga ikut-ikutan viral lantaran menciduk masyarakat yang tetap berjualan ketika waktu sholat, padahal imbauannya telah disosialisasikan. Aceh memang selalu sukses menjadi pusat perhatian nasional.
Tidak berhenti disitu beberapa waktu lalu Wifi secara resmi haram di desa Curee Baroh, kecamatan Simpang Mamplam, kabupaten Bireuen --kabupaten yang mengharamkan ngopi semeja. Biar tidak bergulir liar, pengaharaman wifi ini hanya berlaku di desa ini saja, bukan diseluruh Aceh. Jadi buat anda pembaca yang sudah kadung mengata-ngatai (baca:komen di medsos) dengan sumbu pendek silahkan dihapus. Malu sama kucing.
Pengaharaman wifi ini juga hanya berlaku di warung-warung kopi, tidak untuk penggunaan pribadi seperti di rumah. Sedikit pencerahan, di Aceh warung kopi sangatlah banyak, kadang satu desa bisa punya hingga tiga warung kopi, rata-rata warung kopi aceh luas bukan ala kafe kota besar dengan lahan terbatas.
Pengharaman ini beralasan karena banyak anak-anak dibawah umur yang diduga mengakses konten pornografi, bahkan sampai bolos ngaji karena nongkrong di warung kopi menikmati wifi gratis. Sesuatu yang sangat tidak mencerminkan nilai-nilai ke-Aceh-an.
Disclaimer: Anda harus paham mengapa setiap peraturan di Aceh mesti menggunakan kata-kata haram. Seolah-seolah setiap peraturan adalah jalan tuhan yang harus diikuti. Konotasi kata ini sama seperti larangan, penggunaan kata haram menurut saya hanya sekedar penekanan, karena Aceh tumbuh dengan kultur keislaman yang kuat. Sehingga ketika menggunakan kata haram lebih dipatuhi dari pada menggunkan kata dianjurkan untuk tidak bla bla bla.
Melansir dari CNN (yey masuk CNN loh, desa anda pernah?) Geuchik (kepala desa) Curee Baroh mengatakan bahwa pengaharaman wifi ini juga didukung oleh jajaran Muspika kecamatan Simpang Mamplam. Sungguh Muspika idaman.
Bagi perangkat dan masyarakat desa, kemudharatan yang ditimbulkan wifi sudah terlalu berbahaya. Sehingga pengharamannya menjadi jalan ninja yang harus diambil. Tapi tanpa disadari pengharaman ini lagi-lagi lucu, seperti surat imbauan bupati Bireuen bulan september lalu.
Pertama yang harus digarisbawahi saya menyepakati, dan setuju bahwa generasi muda sejak dini harus dijaga pertumbuhannya, tidak sekedar motorik tubuh, tapi juga afektif dan kognitf. Dalam konteks apapun kita sepakat bahwa melarang anak dibawah umur mengkomsumsi konten pornografi, dan mengahabiskan waktu sia-sia dengan PUBG dan game semisalnya di sudut warung kopi adalah sesuatu baik, sama baiknya seperti menyuruh mereka untuk ngaji sama Tretan Muslim pak ustad.
Ya walaupun telah disepakati bersama oleh masyarakat desa, pengharaman ini menjadi lucu karena yang diharamkan adalah gelombang radio untuk bisa mengakses internet. Saya rasa maksud masyarakat adalah router, alat yang mentransmisikan gelombang tersebut.
Tapi bila lebih jeli, smartphone merupakan objek yang paling layak diharamkan di bandingkan wifi. Justru yang terjadi sebaliknya, para orang tua membebaskan anaknya ber-smartphone ria, kemudian ketika anaknya berlaku nyimpang, yang disalahkan malah wifi. Tydac masyuk!
Saya paham maksud pengaharaman wifi ini untuk pendidikan si anak itu sendiri. Tapi patut dicatat pendidikan pertama seorang anak haruslah berasal dari keluarga. Anda tidak bisa seenak jidat menyalahkan wifi akibat kesalahan yang ditimbulkan oleh anak. Anda yang salah mengapa tidak mengawasi anak anda. Bukankah ketika terjadi hal sepeti ini mengisyaratkan terjadinya kegagalan pedidikan pertama?