Lihat ke Halaman Asli

Kenangan Pendopo dan Bupati Cokro

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiapkali saya melintas di depan Pendopo Pengayoman Temanggung, Jawa Tengah, pikiran saya tertambat pada kisah sejarah fenomenal di masa lalu, yaitu kisah tentang Bupati Temanggung, Cokro Adikusumo, yang aktif mendirikan organisasi Sangka Purnama. Di dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer, istilah ini ditulis sebagai Sasangka Purnama. Apa itu ? Ialah organisasi perkumpulan para bupati yang memiliki tujuan memperluas pendidikan di kalangan Bupati, atau dulu dikenal dengan studi fonds. Tepatnya tanggal 27 Maret 1905, berdirilah organisasi berbentuk perkumpulan tersebut. Organisasi Sangka Purnama ini meluas di pulau Jawa, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi basis kekuatan organisasi modern pertama di Indonesia, Perkoempoelan Boedi Oetomo. Salah-satu tokoh terkemukanya ialah, Doktor Wahidin Sudirohusodo. Bupati Cokro Adikusumo, atau yang bernama lengkap Raden Mas Adipati Ario Tjokro Adikoesoemo, merupakan bupati yang aktif dalam dunia intelektual, sering berdiskusi, membaca, dan punya semangat dalam dunia pendidikan secara baik. Di masa-masa awal Cokro Adikusomo menjadi bupati, khususnya tahun 1904-1908, ia rajin menggalang pendidikan antar bupati. Saking aktifnya, Pendopo Temanggung dijadikan tempat untuk ajang diskusi dan belajar bersama untuk pusat studi fonds. Pendopo Lama Kabupaten Temanggung: Sumber http://arcomsoekarno.blogspot.com Doktor Wahidin Sudirohusodo pun sampai beberapakali hadir ke Temanggung. Bupati-bupati yang hadir sering kagum dengan Cokro Adikusumo, minat belajarnya yang sangat tinggi. Saking semangatnya, ia mendirikan perpustakaan yang megah dengan koleksi buku yang sangat banyak, dan itu membuat ‘iri’ para bupati daerah lain. Hebat, bupati kita sangat intelektual dan pro aktif dalam pergerakan. Dari kenangan pergerakan tersebut, kita juga diingatkan oleh istilah teosofi yang kala itu menjadi tren pemikiran “modern”. Dr Wahidin Sudirohusodo dalam memajukan pemikiran para bupati, mengajarkan pengetahuan lintas agama melalui teosofi sebagai perekat hubungan antar perbedaan agama, tetapi sekaligus menularkan pandangan hidup yang lebih maju daripada sekadar ilmu-ilmu kejawen saat itu. Teosofi itu sendiri adalah pandangan hidup untuk menjadi baik melalui ajaran agama manapun. Nah, yang paling memukau dari kenangan sejarah tersebut, bulu kuduk saya sering merinding manakala mendengar ungkapan perpustakaan dan diskusi. Ini sungguh luar biasa, bahwa kita yang berada di pelosok, di pedalaman sekalipun, ternyata jauh-jauh hari sudah memiliki tradisi intelektual yang kuat, dan itu dimulai dari seorang birokrat. Artinya, Cokro Adikusumo mengajarkan kepada kita bahwa setelah menjadi birokrat tidak boleh berhenti belajar, bahkan harus lebih giat lagi karena kita menghadapi kompleksitas persoalan masyarakat. Bupati Temanggung, Hasyim Afandi sudah melakukan perbaikan perpustakaan dengan mendesain bangunan dan fasilitas yang mewah di kawasan wisata kota, Kowangan Temanggung. Tetapi karena sekarang kebutuhan membaca harus masuk sampai desa, saya kira generasi sekarang harus lebih maju dalam urusan ini. Bisa jadi perlu mendirikan perpustakaan di beberapa kecamatan, bisa pula  membuat perpustakaan keliling yang menjangkau banyak desa. Membaca dan diskusi keilmuan merupakan bagian pencerahan terpenting umat manusia yang modern, yang karena itu jika ditarik pada era sekarang, kita harus lebih maju lagi menggagas pentingnya tradisi menulis.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline