Lihat ke Halaman Asli

Hukuman Mati, untuk Menakuti atau Ditakuti

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pemberian hukuman mati kepada koruptor dilakukan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi koruptor yang lainnya.”

Didalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang yang diperbolehkan dalam keadaan tertentu, yang dimaksud keadaan tertentu adalah apabila korupsi tersebut dilakukan pada waktu negara dalam bahaya, terjadi bencana alam nasional, sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Banyak pro kontra mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia, dimana di Indonesia ada yang mendukung dan juga menolak dengan adanya hukuman mati di Indonesia. Di Indonesia hukuman mati masih diberlakukan, publik tentu masih ingat dengan hukuman mati yang diterima oleh Imam Samudra dkk karena ulahnya melakukan aksi terorisme. Tercatat dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir (1998-2000) Indonesia telah mengeksekusi mati sekitar 20 orang, angka ini jauh lebih besar antara kurun waktu 1945-2003 yang hanya mengeksekusi 15 orang. Di Belanda saja yang merupakan asal dari KUHP kita saja sudah menghapuskan hukuman mati didalam sistem pemidanaannya. Hukuman mati ini juga masih sering dipertanyakan tentang efektifitasnya jika diberikan kepada para koruptor.
Dengan semakin menjamurnya korupsi di Indonesia banyak masyarakat yang mengharapkan bahawa hukuman mati ini dapat diberikan kepada koruptor untuk memberikan efek jera terhadap koruptor sehingga tidak ada lagi koruptor di negeri ini. Sangat ironis negara Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah tetap saja menjadi negara miskin karena ulah para koruptor yang mengkorupsi uang negara.
Sebenarnya hukuman mati hanyalah sebagai alat untuk menakut-nakuti koruptor atau untuk ditakuti oleh para koruptor? Didalam pembuatan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya dimasukkannya pasal hukuman mati adalah baik yaitu untuk memberikan efek jera maupun menakuti para koruptor agar tidak melakukannya korupsi karena apabila seorang koruptor melakukan korupsi maka dapat diancam pidana mati. Namun didalam kenyataannya pasal ini hanya menjadi “Gertak Sambal” belaka, dimana tidak ada seorang pun jaksa yang menuntut ataupun seorang hakim yang menjatuhkan pidana mati kepada seorang koruptor dikarenakan menganggap melanggar hak hidup seseorang.
Banyak orang yang memegang pasal 28 ayat 1 Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya serta berhubungan dengan berbagai instrumen Internasional tentang HAM yang sudah di ratifikasi Indonesia seperti Kovenan Internasional dan Konvensi Anti Penyiksaan. Sehingga tidak mau memberikan hukuman mati kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Adanya hukuman mati ini seakan tidak mempunyai taji karena banyaknya pihak yang tidak setuju dengan diterapkannya pasal ini. Jika kita menilik China maupun Taiwan bahwa dengan adanya hukuman mati terhadap koruptor maka angka korupsi di kedua negara ini dapat menurun sehingga dapat diidentifikasikan bahwa efek hukuman mati ini mampu memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi. Padahal jika tidak banyak halangan yang menyebabkan hukuman mati ini tidak dapat diterapkan di Indonesia dalam hal perkara korupsi maka dapat hukuman mati ini diharapkan dapat menurunkan angka korupsi di Indonesia.
Dengan adanya pasal tentang hukuman mati dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harusnya hukuman mati ditakuti oleh para koruptor sehingga tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi. Didalam kenyataannya korupsi masih saja merajalela seakan-akan para koruptor tidak takut lagi dengan adanya pasal mengenai hukuman mati ini. Hukuman mati yang seharusnya ditakuti namun hanya dianggap pepesan kosong belaka dimana tidak pernah ada penerapannya sehingga sampai saat ini belum ditemukan hukuman yang dapat memberikan efek jera kepada koruptor. Penjatuhan pidana yang dianggap masih ringan membuat korupsi masih saja menjadi “penyakit” yang masih sulit untuk disembuhkan dari negeri ini.
Jika hukuman mati tidak mampu memberikan efek jera kepada koruptor maka calakalah negeri ini karena korupsi akan semakin menjadi dan merusak sendi-sendi negara. Ketika hukuman mati memang benar-benar dilakukan maka para koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan tindak pidana korupsi karena diancam hukuman mati.
Ketika hukuman mati tidak pernah dilaksanakan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor harusnya segera dicari sebuah solusi lain atau gagasan altenatif penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi yang memberikan efek jera kepada koruptor sehingga tindak pidana korupsi dapat segera musnah dari negeri ini dan Indonesia dapat menjadi negara yang besar, makmur, dan dapat mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline