Lihat ke Halaman Asli

Geliat DigitalPreneur Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13841870401253388147

Akses Internet yang makin murah, teknologi gadget yang makin fungsional, dan maraknya penggunaan media sosial rupanya berdampak signifikan terhadap bermunculannya para digitalpreneur generasi baru yang lebih kreatif dibandingkan sebelumnya. Setelah era dotcom bubble, tampaknya information and communication technology/ICT Indonesia sedang memasuki babak baru yang lebih pragmatis. Terutama, dalam melihat peluang bisnis di dunia maya. Era konvergensi dan Web 2.0 semakin membuka peluang bagi lahir dan berkembangnya para digitalpreneur yang lebih kreatif dan inovatif. Infrastruktur telekomunikasi yang kian memadai, serta semakin mudah dan murahnya akses Internet, turut memicu tumbuhnya wirausaha di bidang ICT. Bahkan, sukses situs pertemanan Facebook telah ikut mengilhami dan mendorong lahirnya generasi baru digitalpreneur. Maklum, seperti diketahui, pengguna Facebook di Indonesia sangat fenomenal. Saat ini, pengguna Facebook di negeri ini menempati urutan pertumbuhan tercepat kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Berdasarkan survei Inside Facebook yang dilakukan e-Marketer, jumlah pengguna Facebook di Indonesia naik sekitar 1.400.000 pengguna dalam sebulan terakhir. Pada 1 Desember 2009, e-Marketer mencatat Facebook memiliki 13.870.120 pengguna di Indonesia. Adapun pada 1 Januari 2010 sebesar 15.301.280 pengguna. Indonesia hanya satu peringkat di bawah AS yang mencatat kenaikan jumlah pengguna sebesar 4.576.220 pengguna dalam periode yang sama dari 98.105.020 menjadi 102.681.240 pengguna. Namun, persentase kenaikan jumlah pengguna Facebook di Indonesia mencapai dua kali lipat AS. Indonesia naik 10%, sedangkan AS hanya 5%. Kenaikan 10% termasuk pertumbuhan tertinggi di dunia. Fenomena Facebook tersebut melahirkan entrepreneur TI generasi baru seperti Fajar Persada. Ia membuat animasi flash game. Menurutnya, dalam satu hari ada sekitar 10 ribu pengguna Facebook yang memakai satu flash game. Di bawah bendera Abigdev, kini Fajar telah meluncurkan 8 jenis game yang berbau edukasi, seperti Nusachallenge dan Angklung Heroes Game. Dan masih banyak lagi yg terdapat di dalamnya. Seiring dengan makin murahnya layanan Internet, banyak pula entrepreneur yang fokus di dunia online dan Internet. Salah satunya, Brian Arfi, pendiri PernikMuslim.com dan PT DheZign Online Solution, perusahaan yang melayani jasa web development dan layanan online marketing. Selain Facebook, ponsel cerdas BlackBerry juga mencatat prestasi pengguna yang fenomenal di Indonesia. Efek dominonya, bermunculan para pengembang aplikasi konten untuk BlackBerry. Sebut saja, Ronald Ishak yang mendirikan Domikado dan Kemal Arsjad yang mendirikan Better-B, sebagai perusahaan pengembang aplikasi dan konten untuk ponsel cerdas keluaran Research In Motion (RIM) itu. Tentunya, kurang afdol berbicara tentang pengembang konten untuk ponsel cerdas tanpa menyebutkan nama Kendro Hendro. Boleh dibilang, sejauh ini Kendro merupakan salah satu entrepreneur yang cukup sukses menjadi pengembang aplikasi konten untuk vendor ponsel Nokia, lewat PT InTouch Innovative Indonesia. Salah satu produknya yang menonjol adalah fitur setting wizard yang dipakai di seluruh ponsel cerdas Nokia. Ia juga menggeluti bisnis mobile commerce lewat PT MORE Indonesia. Digitalpreneur lain yang cukup bersinar di bisnis aplikasi mobile dan multimedia ini adalah Joseph Lumban Gaol. Melalui bendera bisnisnya PT Antar Mitra Prakarsa (m-STARS), kini Joseph memiliki beragam bisnis di bidang itu. Antara lain, mobile commerce (payment gateway) untuk 30 online merchant dan 2.000 agen pulsa online, mobile content untuk hampir seluruh operator telekomunikasi (kecuali Mobile-8), mobile advertising, portal musik (Popmaya.com), digital label (dr.m), dan 3D social media (LILO). Konon, hingga 2009 m-STARS mampu membukukan omset lebih dari Rp 20 miliar. “Kue bisnis di ICT besar sekali. Sedangkan kue yang kami makan masih sangat kecil,” ucap Joseph. Selain Joseph, entrepreneur lain yang membidangi teknologi mobile provider adalah Elwin Aldririanto yang mendirikan PT Mobee Indonesia. Lalu, ada Ari Sudrajat dkk. yang mendirikan perusahaan content provider BrainCode. Saat ini, BrainCode sudah bekerja sama dengan Telkomsel, Indosat, XL, TelkomFlexi, Esia, 3 dan Smart. Di kategori e-commerce, contoh entrepreneur yang cukup sukses adalah Heryanto Siatono, pemilik situs Bookjetty.com. Situs ini terhubung dengan toko buku Internet terbesar dunia Amazon.com, juga dengan 300 perpustakaan di 11 negara (antara lain, AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, Singapura, Hong Kong dan Taiwan). Semakin mudah dan murahnya akses Internet juga mendorong bermunculannya digitalpreneur kreatif di bidang pengembangan aplikasi game. Di antaranya, Oka Suganda, yang melalui Sangkuriang Studio mengembangkan bisnis game Nusantara Online. Oka dan timnya membuat game itu berbasis pada mesin game ANGEL (Another Game Engine Library) dan merupakan massively multiplayer online role playing game (bisa dimainkan ribuan orang secara simultan). Tak kalah kreatif dari Oka dkk. di Bandung, Abdullah Alkaff dan Suhadi Lili pun mengembangkan aplikasi game yang tak umum, lebih tepatnya aplikasi simulasi online. Melalui bendera PT Infoglobal Auto Optima (IAO) yang berbasis di Surabaya, pengajar dan mantan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu membuat aplikasi game untuk kepentingan militer dan pertahanan, pemetaan udara, maskapai penerbangan dan industri migas. Saat ini, seperti dikemukakan Khoirul Huda, Koordinator Board of Directors Infoglobal Group, beberapa perusahaan dan lembaga telah menggunakan aplikasi buatan IAO. Antara lain, PLN, Garuda Indonesia, Vico Indonesia, Total Finaelf (Kalimantan Timur), Exxon Mobil, Medco, BP Migas, Kangean Energy Indonesia, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, TNI AL, Sesko AU, Kohanudnas, Departemen Pertahanan dan Bank Islam Brunei Darussalam. Awalnya, omset yang dibukukan IAO hanya Rp 10-20 juta, dan pada 2009 omsetnya sudah Rp 25 miliar. Di kategori business software, fenomena kemunculan para entrepreneur TI tak kalah serunya. Di sini terdapat ratusan pengembang aplikasi. Menurut data Independent Software Vendor (ISV) binaan Microsoft, diperkirakan ada 500-an ISV lokal di Indonesia — 251 di antaranya bercokol di Jakarta. Hal yang sama dikemukakan lembaga riset internasional IDC: jumlah software house di Indonesia naik menjadi 500 unit tahun 2008, dengan jumlah pengembang profesional 71.600 orang. Jika dilihat dari jumlah total pengembang profesional di dunia yang sebesar 13,5 juta, Indonesia baru menyumbang 0,5%. Sumbangan terbesar dari India (10,5%), disusul AS (8,9%). Secara regional, wilayah Asia Pasifik penyumbang developer terbesar di dunia (29,2%), disusul kawasan Amerika Utara (21,7%). Wirausaha yang sukses di bidang aplikasi bisnis ini antara lain G. Hidayat Tjokrodjojo dan Ryadi Darmazi, pendiri PT Realta Chakradarma. Salah satu produk software yang mereka kembangkan dan menjadi produk unggulan mereka adalah solusi R-hotel-S untuk dunia perhotelan. Software ini digunakan sedikitnya di 40 hotel. Nama lainnya adalah Indra Sosrojoyo, pendiri PT Andal Software yang membuat software akuntansi dan perpajakan dengan merek andalan Andal Kharisma. Lalu, ada Fadil Basymeleh, yang melalui PT Zahir Internasional menciptakan peranti lunak akuntansi dengan merek Zahir Accounting. Juga, Wiwie Haris, pendiri software house PT Mitrais di Bali. Aplikasi buatan Mitrais ini sudah dipasarkan di Malaysia, Australia dan negara-negara Afrika. Ada pula Happy Chandraleka dan Taufan Chandra Kusuma, yang mendirikan Digital Works. Aplikasi yang pernah dibuat Digital Works antara lain WinShalat, BuDarti (digital dictionary), Mata-mata (keylogger), Shandiyudha, Gamelan dan Layar Tancep. “Lulusan” ISV binaan Microsoft yang cukup sukses mengembangkan kreasi sendiri adalah Andri Yadi. Melalui PT DyCode Cominfotech Development, Andri telah mengembangkan beberapa peranti lunak. Salah satunya, PortMan (Port Management System), yang telah digunakan beberapa pelabuhan swasta besar di Indonesia. Juga, Tonny Loekito dengan bendera bisnisnya PT Rent@soft, yang fokus di pengembangan peranti lunak untuk rumah sakit dan bank. Salah satu aplikasi andalannya adalah Rhinotones, sistem informasi berbasis web yang terintegrasi untuk rumah sakit. Ada juga yang fokus di bisnis pengembangan aplikasi pendidikan. Salah satu contoh suksesnya adalah Hary Sudiyono Chandra melalui PT Pesona Edukasi. Aplikasi Pesona Edukasi ini telah dipasarkan ke 23 negara. Selain Hary, nama lainnya di bidang software pendidikan adalah Putu Sudiarta, pendiri PT Bamboomedia Cipta Persada. Dan, sejalan dengan tumbuhnya semangat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance), peluang bagi pengembangan aplikasi e-Goverment (e-Gov) pun terbuka lebar. Salah satu wirausaha yang cermat menangkap peluang tersebut adalah Virgo Lazarus Pehulisa. Melalui PT Balerang Konsultindo Mandiri (BKM), Virgo mengembangkan berbagai aplikasi untuk kebutuhan e-Gov. “Saat ini, klien BKM mencakup sejumlah pemda, mulai dari Sumatera Utara hingga Papua,” kata Virgo. Singkatnya, seiring dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada, semangat kewirausahaan di bidang ICT di Indonesia tumbuh cukup subur. Bahkan, kini hampir semua lini di industri ICT telah digeluti. Tumbuhnya para digitalpreneur ini tentunya diharapkan bisa berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Badan Telekomunikasi Dunia (ITU) menyebutkan, setiap 1% pertumbuhan dalam hal penetrasi ICT akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebesar 3%. Karena itu, dukungan dari semua pihak, baik pemerintah maupun pihak perusahaan (vendor atau korporasi), sangat diharapkan bagi pertumbuhan bisnis para digitalpreneur tersebut. Salah satu vendor yang cukup punya perhatian terhadap pengembangan entrepreneurship adalah Microsoft. Menurut Irving Hutagalung, ISV Lead Developer and Platform Group Microsoft Indonesia, saat ini Microsoft punya dua program pengembangan entrepreneur TI, yakni BizSpark dan WebsiteSpark. BizSpark adalah program yang ditujukan bagi perusahaan pembuat software yang umur usahanya di bawah tiga tahun atau disebut start-up. Adapun WebsiteSpark merupakan program yang ditujukan untuk perusahaan pembuat website atau yang fokus pada bisnis pengembangan dan perancangan web yang jumlah karyawannya di bawah 10 orang. Selain syarat di atas, pendapatan tahunan calon peserta harus kurang dari US$ 500.000. Bantuan yang diberikan Microsoft pada peserta program BizSpark dan WebsiteSpark berupa software, visibility dan pelatihan. Visibility di sini agar peserta program bisa terlihat oleh para pelanggan Microsoft. Misalnya, ketika Microsoft mengadakan pameran, akan disediakan booth bagi peserta program secara gratis dan mereka bisa ikut pameran, sehingga mereka bisa berkenalan dengan mitra jejaring Microsoft. Peserta program BizSpark dan WebsiteSpark akan dibina dan diberi bantuan selama tiga tahun. Sejauh ini sudah lebih dari 200 entrepreneur bergabung di kedua program itu. Selain itu, Microsoft juga memiliki program BinaISV, yang ditujukan untuk mengembangkan ISV lokal di Indonesia. Dalam program yang berjalan sejak 2003 ini Microsoft akan memberikan visibility, pelatihan dan support, serta technology update. Sudah ada 210 peserta yang bergabung dalam program Bina ISV. Menurut Irving, sebagai perusahaan, Microsoft datang dengan dua misi: memperkenalkan teknologi dan menjual software. “Agar dua hal ini bisa berjalan berbarengan, kami perlu satu local software economy yang tinggi pertumbuhannya. Makin tingginya pertumbuhan di local software economy ini secara tidak langsung ada impact-nya ke Microsoft.” Selain Microsoft, korporasi lokal yang mulai serius memberi perhatian dan dukungan terhadap perkembangan para digitalpreneur ini adalah PT Telkom. Seperti dikemukakan Widi Nugroho, Head of Digital Business PT Telkom, guna mendukung orang bisa berkarya terutama di bidang teknologi digital, Telkom membuat Indonesia Digital Community (Indigo). Tujuannya, untuk memfasilitasi dan mewadahi insan kreatif Indonesia dalam berkarya. Indigo punya banyak program, salah satunya Indigo Fellowship. “Indigo Fellowship menjaring ide-ide atau karya kreatif yang ada di masyarakat. Kami seleksi, kemudian akan difasilitasi dan dibina agar bisa sukses,” papar Widi. Program ini baru mulai setahun lalu, dan berhasil menjaring 11 orang dari sekitar 400 peminat yang mendaftar. Mereka diberi fasilitas modal usaha sekitar Rp 50 juta. Selain itu, mereka juga diberi pembinaan seperti membuat business plan, cara memasarkan produk, serta diikutkan dalam seminar, pameran, dan kegiatan lain yang dapat mengembangkan bisnis mereka. “Harapannya, mereka bisa menjadi digitalpreneur sukses dan menjadi partner bisnis Telkom. Mereka punya kesempatan untuk bisa makin sukses,” katanya. Peserta yang sedang digodok dalam program ini di antaranya pemilik suararadio.com, yaitu pengembang aplikasi e-broadcast untuk pengelola radio swasta. Ada juga ayofoto.com, komunitas online di bidang fotografi di mana orang bisa mem-posting foto di situ. Web ini bisa menjadi photo stock premium sehingga orang bisa beli foto lewat web ini. Selain infrastruktur telekomunikasi yang memadai dan akses Internet yang semakin mudah, tumbuhnya para digitalpreneur itu, menurut pengamat dan praktisi TI Richard Kartawijaya, disebabkan beberapa faktor. Pertama, pasar yang tumbuh sangat pesat, baik lokal maupun luar negeri. Kedua, teknologi ICT berkembang pesat dan semakin kelihatan kegunaannya di berbagai bidang, bahkan masuk dalam bidang entertainment dan usaha. Ketiga, jumlah masyarakat yang mempunyai kemampuan menggunakan ICT semakin banyak. “Saat ini, ICT bukan lagi sekadar alat, tetapi menjadi enabler di semua bidang,” ucap Direktur Utama PT Informatika Solusi Bisnis itu. Sementara itu, Richardus Eko Indrajit menilai bermunculannya ICT-preneur ini lantaran umumnya hanya membutuhkan modal relatif kecil. Selain itu, risikonya relatif kecil. Terlebih lagi, bisnis ini bisa selaras dengan hobi pribadi atau sekelompok orang. “It’s a nothing to lose business untuk mereka yang punya hobi dan passion di suatu bidang,” ujar pakar TI dari Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komputer itu. Baik Richard maupun Eko sepakat bahwa ke depan masih terbuka sejumlah peluang yang bisa digarap di bisnis ICT ini. Antara lain, pemakaian multimedia di banyak bidang, terutama di bidang entertainment dan usaha. Misalnya, dalam wujud animasi, film (movie), desain grafis, iklan, musik dan konten entertainment. Juga, yang cukup potensial berkaitan dengan jasa ritel, seperti ticketing system, e-banking dan electronic payment. Faktor-faktor Pendukung Perkembangan Digitalpreneur di Indonesia • Berkembang pesatnya penggunaan ponsel. • Berkembangnya situs Internet yang memberikan kemudahan bagi para pengembang untuk menjual aplikasinya (applet) ke konsumen di seluruh dunia. Contohnya, Apple Store dan BlackBerry Apps World. • Ketersediaan teknologi dan alat pembuatan peranti lunak sistem informasi. • Biaya pemanfaatan ICT yang makin terjangkau, termasuk biaya akses dari infrastruktur ICT dan biaya peranti keras/lunak. • Ketersediaan tenaga pengembang lokal yang mumpuni. • Struktur bisnis lokal yang mendukung pemakaian ICT secara intensif, misalnya industri perbankan dan telekomunikasi. • Dukungan pemerintah terhadap ICT. Dikutip dari.: http://swa.co.id/2010/02/gelombang-baru-digitalpreneur-indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline