Lihat ke Halaman Asli

Mungkinkah Zaken Kabinet ?

Diperbarui: 27 Juli 2015   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nampaknya istilah Zaken Kabinet akan menjadi istilah paling populer dalam bulan ini sampai dua bulan ke depan. Ini ada kaitannya dengan rencana Jokowi sebagai Presiden terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden terpilih membentuk kabinet sebagai kelengkapan pemerintahan. Zaken Kabinet merupakan harapan masyarakat sebagai jawaban terhadap kurang puasnya terhadap prestasi menteri-menteri yang berasal dari partai politik dalam KIB II. Tentu saja ini tidak mutlak, sebab ada menteri-menteri yang kinerjanya bagus walau dari partai politik.

Penilaian masyarakat terhadap prestasi para menteri lebih merupakan opini dan pandangan masyarakat. Bagaimanapun, sudah ada tim khusus, UKP4, yang menilai prestasi para menteri KIB II sebagai bagian tidak terpisahkan dari organisasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Boleh jadi pandangan dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh adanya menteri-menteri yag terlibat kasus korupsi. Seperti pepatah lama ‘karena nila setitik rusak susu sebelanga’.

Kembali kepada Zaken Kabinet, sepertinya istilah lama ini selalu muncul jika hendak dibentuk pemerintahan baru. Selalu ada saja yang menyuarakan istilah ini sebagai alternatif dari kabinet yang berasal dari partai politik. Zaken Kabinet yang secara sederhana disebut kabinet ahli, merupakan kabinet yang terdiri dari para ahli. Pandangan seperti ini seolah-olah kabinet partai politik tidak ahli? Para pendukung kabinet partai politik pasti tidak setuju dengan pandangan tersebut.

Landasan:

Harus diakui bahwa bagi orang politik dalam arti luas, kabinet merupakan sasaran, target, dan harapan. Karena melalui kabinet akan bisa dilaksanakan pembangunan suatu negara. Kabinet yang terdiri dari para menteri portofolio dan tanpa portofolio membantu Presiden dalam melaksanakan program-program pembangunan.

Akan halnya program pembangunan, jauh lebih penting dari pembangunan secara fisik adalah landasan dari program pembangunan tersebut. Dalam kaitan ini tiap partai memiliki ideologi, visi, dan misinya sendiri. Ini yang akan menjadi faktor pembeda ketika mendesain program pembangunan. Tentu saja tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Namun, caranya tidak sama. Justru di sini terletak kekuatan sekaligus daya tarik partai dalam mengambil hati rakyat.

Sebagai perbandingan, di Eropa Barat, landasan pembangunan akan berbeda jika negara dipimpin oleh mereka yang dari aliran Sosial Demokrat dengan yang bukan. Apalagi jika partai Hijau (baca : lingkungan) yang menjadi pemenang Pemilu. Dengan demikian benang merah dari program pembangunan tidak sama, tergantung partai mana yang menjadi mayoritas.

Berlandaskan benang merah tadi, maka akan terlihat perbedaan yang signifikan dalam membuat program pembangunan termasuk prioritasnya. Justru di sini letak akar dari demokrasi. Bukan sekadar menyuarakan perbedaan pendapat. Tapi lebih jauh, adalah dalam cara mebangun suatu negara. Ini pula yang membuat partainya Modi menang Pemilu di India, Nampaknya masyarakat India ingin sesuatu yang baru jauh dari dominasi partai Kongres dalam arti luas. Tentu saja kita harus menunggu realisasi dari Mogi dibandingkan dengan janji-janjinya ketika kampanye Pemilu.

Indonesia:

Indonesia yang mengalami perubahan mendasar, dimulai sejak reformasi pada 1998, harus diakui sedang dalam taraf belajar berdemokrasi. Sama dengan negara-negara demokrasi lainnya, Amerika Serikat, misalnya, sudah melalui proses yang sedang kita alami. Demokrasi mereka juga ada naik dan turunnya. Namun. Dengan fondamen yang kuat, demokrasi mereka semakin matang. Sehingga dalam soal pembentukan kabinet, walaupun tidak selalu mulus, karena hanya dua partai, umumnnya bisa diperoleh kabinet yang kompeten dan kuat.

Bagaimana dengan Indonesia ? Intinya, jelas tergantung kepada siapa yang menjadi pemenang Pemilu (baca:partai pemenang Pemilu). Hanya saja karena kita memiliki banyak partai, akhirnya tergantung kepada jumlah kursi yang dimiliki partai pemenang di DPR. Solusi yang paling gampang adalah membentuk koalisi sehingga partai koalisi memiliki jumlah anggota legislatif melebihi ½ + 1 (baca : dagang sapi, dengan bagi-bagi kursi menteri).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline