Ada perbedaan yang siginifikan antara penilaian obat dibandingkan dengan penilaian terhadap teknologi kesehatan lainnya. Perbedaan utama di sini adalah penilaian terhadap obat mensyaratkan lebih banyak informasi dalam efikasi dan keamanan dibandingkan dengan teknologi kesehatan lainnya.
Ini disebabkan adanya persyaratan dan regulasi yang ketat terhadap manufaktur obat dengan mengevaluasi faktor-faktor efikasi dan keamanan harus bisa memberikan jaminan bahwa kedua faktor tersebut sudah memenuhi persyaratan-persyaratan dari pihak regulator obat yang dalam hal ini adalah lembaga seperti FDA di Amerika Serikat dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia, sebelum obat dipasarkan.
Penilaian terhadap adalah yang paling ekstensif dibandingkan dengan teknologi kesehatan lainnya. Faktanya regulator obat yang paling lengkap dalam melakukan penilaian terhadap obat.
Sebagai contoh, ketika manufaktur obat ingin menguji obat terhadap manusia maka manufaktur obat tersebut harus menyertakan hasil uji coba terhadap hewan dan pemeriksaan laboratorium ke badan regulator sebagai syarat untuk memperoleh lisensi untuk menguji terhadap manusia.
Kemudian dilakukan rangkaian pengujian terhadap manusia. Hasil dari uji coba tersebut, dalam bentuk data yang lengkap, diberikan kepada pihak regulator. Pihak regulator akan melakukan sintesis dan penilaian apakah obat tersebut boleh dipasarkan atau tidak sama sekali.
Satu aktifitas yang tidak boleh dilupakan bahkan merupakan kewajiban dalam uji coba klinis adalah yang dikenal sebagai uji coba acak terkontrol (randomized controlled trial). Uji coba ini dibandingkan dengan obat plasebo atau obat yang sama kelas terapetikanya namun kurang dikenal. Hasil uji coba obat yang sedang diuji klinis dibandingkan terhadap obat plasebo dan obat pembanding lainnya.Ini semuanya dilakukan uji klinis terhadap manusia.
Untuk melengkapi uji coba klinis, manufaktur disyaratkan melakukan double-blind trial. Dalam hal ini, baik peneliti maupun pasien yang menerima obat tidak tahu apakah yang diberikan ke pasien maupun pihak pasien uji coba tersebut apakah yang diterima adalah obat sebenarnya yang sedang diteliti atau sekadar obat plasebo (obat bohong-bohongan). Dengan metode ini akan membuat uji coba acak terkontrol menjadi lebih lengkap hasilnya dan sekaligus lebih meyakinkan.
Farmakoepidemiologi:
Sebagai cabang ilmu pengetahuan baru, farmakoepidemiologi telah didekasikan untuk mempelajari penggunaan dan dampak dari obat dalam populasi yang banyak. Farmakoepidemiologi sebelumnya dikenal sebagai post-marketing surveillance.
Boleh jadi tepat bahwa karakter dari cabang ilmu pengetahuan baru ini untuk melegitimasi survey pasca pemasaran (post-marketing surveillance} dengan riset-riset lain yang terkait sebagai cabang ilmu pengetahuan yang memiliki hak-haknya sendiri.
Dari aspek lain, farmakoepidemiologi adalah gabungan dari farmakologi dan epidemiologi, yang mana mempelajari dampak obat dan reaksi negatif dari obat. Dalam hal ini reaksi negatif obat terdiri dari dua kategori, Tipe A yang mana dampak farmakologi yang berlebihan akibat pemakaian obat.