Keputusan Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Perhubungan yang melarang Go-Jek dan segala angkutan umum yang memakai aplikasi mengagetkan masyarakat luas terutama para pengguna angkutan tersebut. Selain itu para pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi beserta keluarganya merasa terpukul oleh keputusan Menteri Perhubungan tersebut.
Kalau diperluas, para pemangku kepentingan dalam arti luas juga terkena dampaknya, seperti para pedagang kecil yang menjajakan makanan dan minuman untuk para pengemudi angkutan umum beraplikasi .
Kebijakan yang tidak bijak adalah apa yang dilakukan oleh Ignasius Yonan sang Menteri Perhubungan. Untung sekali para pemangku kepentingan angkutan umum beraplikasi khususnya Go-Jek mengeluarkan reaksi keras antara lain melalui media sosial. Serta merta masyarakat mendukung para pengemudi Go-Jek. Pesan-pesan keras ini ternyata didengar oleh Presiden Joko Widodo yang langsung memangggil Menteri Perhubungan. Dalam sekejap keputusan Menteri Perhubungan tentang angkutan umum berbasis aplikasi ditunda pelaksanaannya.
Dengan begitu larangan bagi beroperasinya angkutan umum berbasis aplikasi dicabut. Segenap lapisan masyarakat senang dengan kebijakan Presiden Joko Widodo. Sementara itu, Yonan sang Menteri Perhubungan mendapat kecaman bertubi-tubi. Ia hanya mengatakan akan menyerahkan kepada Polri soal keamanan para pengguna angkutan umum berbasis aplikasi, khususnya Go-Jek dan yang sejenis.
Kebijakan yang tidak bijak ini telah berlalu. Semua pemangkutan kepentingan angkutan umum berbasis aplikasi senang. Mobilitas mereka terjamin. Namun tetap saja ada yang tersisa yaitu soal kebijakan yang tidak bijak.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, semua pihak, terutama para pembuat kebijakan. Artinya, dalam membuat kebijakan hendaknya lebih difikir matang-matang. Dilihat semua aspek secara komprehensif. Semua sudut dianalisis. Bahkan sebaiknya diuji coba dulu secara terbatas antara lain dengan melakukan jajak pendapat kepada para pemangku kepentingan.
Kalau ternyata harus dilakukan perbaikan, perubahan, atau adaptasi maka harus dilakukan. Jika ternyata setelah dilakukan revisi dengan mengadakan pertemuan tertutup tatap muka dengan wakil para pemangku kepentingan hasilnya positif baru dibuat kebijakannya.
Anatomi kebijakan:
Akan halnya suatu kebijakan, prinsip utama adalah untuk siapa kebijakan tersebut dibuat. Idealnya suatu kebijakan dibuat untuk kepentingan orang banyak, kebutuhan masyarakat, mendahulukan kepentingan rakyat. Ini indah di atas kertas, namun tidak mudah untuk melaksanakannya. Dalam hal ini kebijakan untuk melarang go-jek dan angkutan umum berbasis aplikasi jelas tidak mengindahkan kaidah utama ini. Persoalan bertambah rumit karena ada peraturan-peraturan sebelumnya yang nyata-nyata tidak mencakup go-jek dan sejenisnya sebagai angkutan umum untuk masyarakat. Apalagi kalau sudah menyangkut keselamatan penumpang go-jek, ceritanya sudah lain lagi.
Hal lain yang harus dicatat adalah bahwa suatu kebijakan tidak bisa memuaskan semua pihak. Artinya, pasti ada pihak-pihak yang dirugikan. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja yang dirugikan? Seberapa besar kerugian tersebut? Adakah jalan keluarnya untuk meminimalkan kerugian baik dari jumlah yang dirugikan maupun kerugian ekonominya?
Dalam kasus go-jek dan angkutan umum berbasis aplikasi harus diperhatikan bagaimana nasib dan dampaknya terhadap angkutan umum yang selama ini sudah beroperasi dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tiba-tiba mendapat saingan berupa produk substitusi yang mau tak mau akan berpengaruh terhadap penghasilan perusahaan angkutan umum tersebut? Apalagi perusahaan-perusahaan angkutan umum tersebut adalah pembayar pajak yang disiplin. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah dampaknya terhadap karyawan yang dalam hal ini adalah pengemudi dari angkutan umum tersebut, terutama dalam penghasilan mereka? Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan mereka pas-pasan kalau tidak mau dikatakan mencukupi.