Lihat ke Halaman Asli

Kaya dan Bermakna

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali pada posisi dan kondisi tertentu kita tersadarkan “untuk apa sebenarnya kita hidup dan dilahirkan?” Kita seolah kesulitan menemukan keyakinan arah hidup yang hendak dicapai dan dilalui. Hal ini bisa jadi lantaran kita tidak menemukan pondasi atau pilihan landasan hidup.

Kalau kita memiliki dorongan untuk bisa berperan atau paling tidak bermanfaat buat adanya perbaikan bangsa dan Negara ini, kenapa tidak diyakini saja sebagai arah tujuan hidup. “bermakna bagi sesama, nusa dan bangsa”.

Berikutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana “semangat” tersebut diinternalisasi dan konsisten mewujud menjadi laku keseharian. Baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. “Hidup untuk Indonesia yang lebih baik dan mencapai peradabannya”.

Kemudian diterjemahkan dalam hal-hal kecil yang konkrit, yang benar-benar bisa dilakukan dan berdampak. Ini memang butuh perjuangan. Karena kita dituntut untuk disiplin diri yang kadang dipandang orang lain tidak berarti. Bahkan orang-orang terdekat kitapun bisa jadi tidak serta-merta mendukung atas apa yang kita lakukan. “ngapain mikiran Negara, Negara toh gak mikirin kita”. Dalam situasi inilah kita membutuhkan kebesaran dan ketetapan hati. Jangan pandang “sinis”nya kata-kata itu, tetapi pahamilah bahwa mereka hanya butuh bukti. Sehingga, semakin cepat kita bisa membuktikan bahwa apa yang kita lakukan itu benar-benar berarti, maka secepat itu pula dukungan itu akan kita dapatkan. Dan satu lagi, jangan tinggalkan apa yang menjadi kewajiban kita terhadap mereka. Penuhilah.

Karena situasi itu pula, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni munculnya kekhawatiran bahwa tidak ada jaminan keberlangsungan hidup dari apa yang kita komitmenkan dan dedikasikan. Makanya, penting untuk tegas memilah antara berkomitmen dalam hidup dan bertahan menjalankan hidup. Keduanya harus dipenuhi keberadaannya. Lebih lugasnya, kita harus bisa membedakan mana mencari pemenuhan kebutuhan untuk hidup dan mana mencari pemenuhan makna hidup.

Kita juga harus bisa menyelesaikan pertanyaan ini: “Dari mana kita bisa hidup dan untuk apa kita hidup”. Kalau hanya terselesaikan salah satu saja, maka pasti hidup kita akan pincang. Kita akan terjebak pada kehidupan materialistis atau pada kehidupan “idealis”. Padahal yang kita perlukan adalah kehidupan yang “realistis” dan berkeseimbangan. “kaya dan bermakna”. Itulah yang bisa kita namakan “kesempurnaan hidup”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline