Halal, suatu terminologi yang sudah jamak kita dengar. Terlebih bagi negara kita sebagai negara muslim terbesar di dunia, halal memang sudah sangat akrab di kehidupan kita sehari-hari. Baik itu makanan, minuman, produk kosmetik, dan sebagainya.
Secara kamus (KBBI), halal itu berupa kata adjektif (kata sifat) yang berarti (1) diizinkan secara syarak, (2) yang diperoleh atau diperbuat dengan sah. Misal, makanan dan minuman ini halal atau uang ini diperoleh dengan sah.
Halal dalam etimologi dapat juga dikatakan segala sesuatu yang bebas dan tidak terikat dengan sesuatu yang melarangnya. Bebas diartikan tanpa hambatan atau tidak membahayakan bagi orang yang menggunakan atau mengkonsumsinya.
Sedangkan halal itu juga berdekatan dengan hal-hal yang thayyib (baik). Jadi tidak sekedar halal saja tapi baik untuk manfaat manusia. Baik disini bisa dikatakan mengandung unsur sehat dan higienis dalam pengolahan dan pengadaannya.
Di dalam Al Qur'an juga diperintahkan tidak saja kepada umat Islam tapi kepada seluruh umat manusia untuk mengkonsumsi makanan halal dan baik.
Surat Al Maidah ayat 88 jelas mengatakan, yang artinya; "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah berikan kepadamu". Ada kata kepadamu, yang mana "mu" di sini ditujukan kepada umat Islam dan makanan itu juga baik.
Sementara di surat lainnya, Al Baqarah ayat 168 yang artinya; "Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu musuh nyata bagimu".
Pada ayat itu jelas sekali ditujukan kepada seluruh manusia untuk mengkonsumsi makanan yang halal tapi juga baik yang bermakna bermanfaat secara kesehatan.
Lawan dari halal adalah haram. Haram dimaksud, sesuatu yang tidak boleh digunakan atau di konsumsi sesuai dengan syarak. Konsumsi makanan haram dan tidak sehat dapat merugikan kemampuan akhlak dan merintangi perkembangan mental /rohani.
Ada kisah cerita yang menarik bagi penulis yang sampai sekarang ini masih jelas teringat. Ketika itu penulis masih duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar (SD) di Padang tahun 1985.
Seperti biasa sebelum lonceng pulang berbunyi, guru penulis bernama Ibu Juswati yang juga sebagai wali kelas, mengatakan kepada kami yang nantinya diteruskan kepada orang tua kami, agar berhati-hati kalau membeli daging di pasar yang banyak bercampur antara pedagang muslim dan non-muslim.