Tegal, Sebagai Pemohon I dalam permohonan Pengujian Undang Undang (PUU) dengan Nomor Perkara: 127/PUU-XXI/2023 di Mahmakah Konstitusi, saya sebagai Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) banyak menerima pertanyaan, pujian, kritikan yang hingga berbau penghinaan personal dari sekelompok orang, juga organisasi.
Hal di atas, saya anggap sesuatu yang lumrah adanya. Yang bertanya, saya jawab. Yang memuji, tidak membuat saya "berkepala besar" dan saya cukup ucapkan terima kasih atas pujiannya. Yang mengkritik, saya apresiasi dan jadikan itu sebagai evaluasi kedepannya. Dan yang berbau penghinaan personal, saya maklumi saja, toh memang adanya saya di dunia keaktivisan pelaut tidak mungkin bisa membuat semua orang merasa senang, pastinya ada juga yang tidak senang. Itu manusiawi saja.
Baru-baru ini, ada orang yang mengaku bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, melalui pesan WhatsApp, dia bertanya. Berikut saya kutipkan pertanyaannya:
"This my question to you: Why AP2I waited 6 years to appeal law 18/2017? Anything new that prompted the decision to fill for Judicial review of Law 18/2017."
Lalu karena kekurangmahiran saya dalam berbahasa dan mengartikan tulisan Bahasa Inggris, setelah saya translate di aplikasi google translate, kira-kira begini hasil terjemahannya:
"Ini pertanyaanku padamu: Mengapa AP2I menunggu 6 tahun untuk mengajukan banding terhadap UU 18/2017? Adakah hal baru yang mendorong diambilnya keputusan untuk mengajukan uji materiil UU 18/2017."
Kemudian menanggapi pesan dari Pejabat di Kedubes AS di Indonesia tersebut, saya jawab begini:
Pertama: "Saya sudah kontra pendapaat sejak 2017 mengenai dimasukkannya Pelaut ke dalam UU PPMI di Pasal 4 ayat (1) huruf c. Semestinya jika UU PPMI ingin konsisten dengan salah satu Konsiderananya, yakni UU 6/2012, seyogyanya Pelaut dalam UU PPMI masuk di Pasal 4 ayat (2)."
Kedua: "Kenapa Uji Materiil di MK baru masuk di tahun 2023? Tentunya dalam melakukan kegiatan organisasi, salah satunya terkait advokasi kebijakan, termasuk upaya JR di MK, pastinya perlu kajian dan analisis yang tentunya butuh waktu. Juga hal itu dilakukan pasca terbitnya PP 22/2022, tanggal 8 Juni 2022, di mana dalam PP tersebut, terdapat beberapa Pasal yang berbenturan dengan PP 31/2021. Selain itu, salah satu dasar pengujian di MK adalah adanya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 67/P/HUM/2022, yang diputus tanggal 22 Desember 2022, yang menyengketakan Permenhub No. PM 59/2021 yang dianggap oleh Para Pemohon bertentangan dengan UU 12/2011 dengan batu uji UU PPMI jo. PP 22/2022. Maka oleh karena itu pasca terbit Putusan MA No. 67 a quo, saya berusaha untuk menyinkronisasi di level UU di MK, supaya di pasca Putusan MA itu, di level UU, yakni UU PPMI bisa sinkron dengan UU Pelayaran jo. PP 31/2021 jo. Permenhub 59/2021."
Itulah di atas, jawaban yang saya sampaikan ke pejabat Kedubes AS di Indonesia itu, yang bertanya ke saya, meskipun hanya melalui pesan WhatsApp, tetapi saya apresiasi karena dengan sangat sopan bertanya. Padahal dia adalah seorang warga negara asing dan juga saya baru kenal. Apalagi dengan orang sendiri (sama-sama orang Indonesia), apalagi saya kenal, pasti saya jawab kalau bertanya. Tapi kalau cuma nyinyir, apalagi lewat sosial media, wah, enggak banget deh, buat ngeladeninnya. He he he.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H