[caption caption="SPILN saat sebelum audiensi dengan Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dakhiri di ruang rapat Kemenaker tentang perlindungan TKI Pelaut Perikanan, 2015."][/caption]Jakarta, sengketa pelaut perikanan yang terjadi antara delapan (8) pelaut dengan pihak perusahaan PT. Dafa Putra Jaya (DPJ) tidak ada kejelasan, "Kasus kami mandek. Kami sudah kirim surat ke Kementrian Ketenagakerjaan pada tanggal 5 Juli 2015, tapi sampai detik ini kami belum mendapatkan jawaban." ujar Samain, salah satu korban.
Kasus tersebut terjadi pada 2013, dimana pada November 2011 kedelapan ABK tersebut diberangkatkan ke luar negeri untuk menjadi ABK di atas kapal penangkap ikan oleh PT. DPJ. Dengan gaji 150 dollar/bulan melalui sistem penggajian via transfer (delegasi), selama dua tahun bekerja ternyata gaji mereka tak pernah masuk ke rekening keluarga.
Akibat dari tidak dibayar gajinya, para korban sempat didampingi oleh sebuah LSM di daerah asal korban (Cirebon), untuk mengadukan perkara tersebut kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pihak BNP2TKI sudah beberapa kali memanggil pihak PT. DPJ namun tidak pernah datang memenuhi panggilan, kemudian BNP2TKI pada tanggal 13 Februari 2015 mengeluarkan surat tentang pencairan deposito PT. DPJ terhadap satu (ABK) atas nama Samain. Namun tujuh (7) ABK lainnya tidak dicantumkan namanya dalam surat tersebut karena datanya belum lengkap, hal tersebut mengakibatkan pencairan dana depisito tersebut gagal. "papar para korban.
Upaya penyelesaian masalah pernah terjadi pada tanggal 12 April 2015, dimana pihak PT. DPJ bersama LSM tersebut telah menyepakati bahwa kasus tersebut selesai dengan adanya uang tali kasih dari pihak PT. DPJ kepada 8 ABK melalui LSM yang disepakati di BP3TKI Semarang, Jawa Tengah sebesar 7, 5 juta/orang. Tetapi ironisnya, para ABK menyatakan tidak pernah mendapatkan uang tersebut dan mengaku tidak pernah menandatangani surat pernyataan tersebut. "Bagaimana mungkin?, kami kerja 2 tahun tidak digaji, masa kami mau kasus selesai hanya dikasih uang santunan sebrsar 7,5 juta saja!. Itu LSM membohongi kita," tegas para korban.
Para ABK merasa telah dibohongi oleh pihak LSM, kemudian mencabut kuasanya dan menghubungi Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) untuk dibantu penyelesaian kasusnya. "Kami minta bantuan kepada SPILN, agar dapat memperjuangkan hak gaji kami selama kerja 2 tahun di luar negeri yang belum dibayar, asuransi untuk salah satu teman kami yang kecelakaan kerja dan mengalami cacat permanen (Samain Red.), serta mengembalikan semua dokumen kami yang masih tertahan di PT. DPJ." keluh para korban kepada SPILN.
Untuk diketahui, atas laporan tersebut, SPILN langsung memfasilitasi para korban langsung untuk bertemu dengan Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dakhiri dan beberapa stafnya. Dalam pertemuan tersebut, Menaker berupaya akan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut dan membantu memberikan bantuan kepada Samain, yang cacat permanen agar mendapatkan asuransi. Selain pertemuan langsung tersebut, SPILN juga memberikan surat kepada Menaker dengan perihal, Permohonan Pencairan Uang Jaminan Depisito PPTKIS (PT. DPJ Red.) agar digunakan untuk membayar gaji ke delapan ABK yang sudah dua tahun bekerja namun tidak mendapatkan gaji. "Surat sudah kami layangkan pada 5 Juli 2015 lalu kepada pak Hanif, tetapi sampai detik ini kami belum dapat kabar/jawaban. Kami akan datangi lagi untuk tagih itu," pungkas Bambang Suherman, Kabid Advokasi Hukum dan Ham SPILN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H