Lihat ke Halaman Asli

IMAM SYAFII

Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

UU PTPPO Bagus Tertulis, Implementasinya Belum Maksimal

Diperbarui: 5 Agustus 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jakarta, Praktek-praktek perdagangan orang di Indonesia telah lama berlangsung, namun landasan hukum yang ada tidak memadai untuk penanganan dan proses hukum dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Disisi lain perdagangan orang dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara. Oleh karena itu terbitnya UU PTPPO ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting untuk mewujudkan payung hukum yang memadai dalam upaya pemberantasan TPPO. Keterangan tersebut dikutip dari buku saku yang dikeluarkan oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono pada Juni 2007 silam.

 

"Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi." adalah merupakan bunyi ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Isi dari UU PTPPO sangat bagus dan tersusun rapi di kanvas UU, namun implementasinya di lapangan belum terasa dan menyentuh bagi para korban perdagangan orang. Sebagai contoh, dalam Pasal 8 UU PTPPO disebutkan 'Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal tersebut (2,3,4,5,dan 6).' Jarang sekali Ketentuan Pasal itu diterapkan di lapangan, padahal kejahatan tindak pidana perdagangan orang tidak mungkin berdiri dengan sendirinya. Artinya ada sindikat dibalik itu semua, baik perorangan, kelompok yang terorganisasi, hingga penyelenggara negara sekalipun bisa terlibat dalam praktek jaringan kejahatan perdagangan orang?

Selain itu, para korban TPPO jarang sekali mengetahui hak-haknya sebagai korban. Padahal dalam bunyi Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU PTPPO dijelaskan bahwa 'Setiap korban TPPO atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi adalah ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.' Ada ribuan TKI yang menjadi korban TPPO berdasarkan data yang dipublikasikan oleh International Organization for Migration (IOM) belum lama ini, namun pertanyaannya adalah, dari ribuan korban tersebut berapa banyak korban yang telah mendapatkan hak-haknya sebagai korban TPPO sesuai UU PPTKILN?

Kasus TPPO terjadi dan menimpa bukan hanya kepada TKI yang bekerja didarat saja. Namun TKI yang bekerja di laut lebih rawan tereksploitasi, terbukti pada 2012 silam terungkap sebuah kasus besar dimana 203 Warga Negara Indonesia (WNI) ditelantarkan di perairan Trinidad and Tobago setelah diperbudak 2 sampai 3 tahun kerja tanpa gaji. Selain tanpa gaji, dokumen mereka juga ternyata dipalsukan. Mereka kemudian dipulangkan oleh pemerintah dengan menggunakan biaya APBN, setelah pulang para korban mengadukan perkaranya kepada kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada 2013 pelaku akhirnya tertangkap dan diadili, dalam persidangan yang digelar di pengadilan negeri (PN) Jakarta Barat, pelaku divonis bersalah atas tindakan perdagangan orang. Selain dihukum, pelaku juga dijatuhi sanksi/denda kepada negara atas dokumen para korban yang dipalsukan dan pelaku dituntut membayar restitusi untuk para korban melalui proses yang diajukan korban kepada LPSK yang kemudian rincian data kerugian korban diserahkan oleh LPSK kepada Majelis di persidangan untuk dipertimbangkan. Semoga kedepan, hak restitusi bisa mudah didapat oleh para korban TPPO. Mengingat, yang terpenting dan dibutuhkan oleh korban adalah haknya terpenuhi bukan hanya pelakunya dipenjara saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline