Lihat ke Halaman Asli

IMAM SYAFII

Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

30 ABK Indonesia di Kapal Thunder adalah Korban Perbudakan Modern di Laut

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jakarta, Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia khususnya Badan/Lembaga/Instansi pemerintah terkait dengan permasalahan Tenaga Kerja di luar negeri, sektor maritim/kelautan atau Pelaut selama ini telah luput dari pengawasan dan perlindungan pemerintah.

SPILN mengatakan, selama ini, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) hanya mengcover perlindungan untuk TKI yang bekerja di sektor darat, itupun masih banyak menuai kritikan dari para Aktifis pegiat TKI yang dirasakan belum maksimal melindungi TKI. sedangkan, sejak disahkannya UU tersebut pada tahun 2004 hingga detik ini Kementrian Ketenagakerjaan belum mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) tentang TKI sektor laut atau pelaut.

Berdasarkan data yang didapat pada tahun 2014 menyebutkan, TKI yang berada di United States mencapai 9 ribu orang lebih dan itu mayoritas Pelaut/ABK, di Taiwan ada 80 ribu orang lebih dan separuh TKI disana adalah di sektor laut. selain itu, di Fiji Islands, Spanyol dan Belanda totalnya sekitar 2.500 orang lebih. kemudian, di Afrika Selatan dan Thailand dengan total sekitar 1300 orang lebih. "itu belum ditambah yang di Korea Selatan dan Jepang" ujar SPILN.

Kasus yang dibongkar oleh Sea Shepherd Global pada April lalu yang mana dari total 40 ABK yang berada kapal Thunder, 30 Orang diantaranya berasal dari Indonesia memperkuat analisis SPILN bahwa praktik perbudakan modern di lautan lepas terus terjadi hingga detik ini. sejak terbongkarnya kasus perbudakan, penelantaran hingga perdagangan manusia yang menimpa 203 ABK asal Indonesia di perairan Trinidad and Tobago 2012 silam, kasus 74 ABK Indonesia di Cape Town, kasus 4 ABK di Mozambique hingga kasus 9 ABK Indonesia yang sampai nekat membunuh kaptennya di Taiwan. kasus-kasus tersebut seharusnya menjadi kritikan pahit dan dijadikan pembelajaran pemerintah Indonesia yang telah lalai melindungi Rakyatnya yang bekerja sebagai ABK di luar negeri. "jadikan itu sebagai teguran untuk terus memperkuat pondasi pengawasan dan perlindungan serta penanganan ketika terjadi sengketa terkait hak hak yang tidak dibayar" tutup SPILN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline