Judul Cerpen: Gerimis di Kota Pagal
Karya: Afriana
Malam enggan takluk hujan terus menggerutu di hari Minggu sementara saat Ekaristi aku duduk di sebuah bangku dekat pojokan. Di sana bersama beberapa anggota paduan suara. Khotbah Pastor hari ini indah sekali mengena sampai pori-pori menusuk sekali. Ku tatap beberapa wajah yang biasa duduk di bangku depan, ada yang usianya sudah senja tapi ada juga yang masih sangat muda. Seperti sedang ada penyesalan yang kudapati hari minggu ini. Bagaimana tidak salah satunya adalah hujan yang terus mengguyur seisi kota dan tak berhenti merengek seperti sedang marah karena beberapa isi semeta membuatnya sakit hati. Setelah selesai Ekaristi aku langsung beranjak dari tempat duduk dan kudapati tatapan wajah yang mengarah kepadaku.
Ia tersenyum tapi aku lupa siapa dia. Pikiranku sedikit terganggu padahal setelah ini ada beberapa hal yang harus ku kerjakan. Aku keluar dari pintu Gereja lalu ia dengan pelan menegur sembari menepuk pundakku dari belakang. "Enu"* aku tak langsung menyahut, aku mengarahkan pandanganku lebih fokus tapi tak kusadari ia sudah berjalan disampingku. Beberapa menit kemudian aku membalikkan badan, meski pandangan dan arah badanku belum sepenuhnya menuju hadapnnya tapi ia sudah menyentuh tanganku.
Ingin sekali berteriak kegirangan dan memeluknya dengan pelukan paling hangat tapi aku lupa jika ada banyak orang di situ. Rasanya seperti mimpi entah tapi kali ini bukan mimpi lagi. Ia lelaki yang ku jumpai empat tahun yang lalu, kami adalah sahabat baik dan seiring dengan kebersamaan akhirnya kami pun jatuh cinta dan memang benar rasanya akan lain lagi setelah menjadi pasangan. Sejenak dalam nada kegirangan aku juga disadarkan kalau dia tidak bisa ku rengkuh dengan erat karena dia sudah berjubah dan memang ia lebih tampan dari sebelumnya, ya sebelum ia masuk ke dalam biara. Aku memutuskan untuk menunda kepulanganku ke Rumah sembari menutup pesan dengan beberapa orang agar mereka bisa menyampaikan kepada kedua orang tua. Seperti biasa di sebuah pohon di sebelah timur Gereja di situlah kami bercerita sambil sedikit tertawa karena celoteh masing-masing. Ia masih sama seperti empat tahun yang lalu, hanya bedanya obrolan kami sedikit kaku mungkin karena sudah jarang bertemu dan tidak seperti dulu.
"Enu apa kabar, sudah punya pasangan?" Tanya dia dengan nada yang sedikit serius
"Kabarku baik. Kenapa Nana tanya sampai di situ?"
"Tidak apa. Takutnya kalau sudah punya pasangan nanti dia marah atau cemburu"
Aku melihat raut kekuatiran dalam dirinya. Tak ku jawab dengan kata-kata tapi ekpresi wajahku yang sedikit menggambarkan kalau aku memang masih sendiri. Setelah lama bercerita kami akhirnya memilih untuk berdoa masuk ke dalam Gereja dan mengambil jarak. Ia di belakang sedang aku di depan.
Di atas sana langit sudah mulai redup. Sepertinya akan turun hujan tapi sepertinya semesta sedang tahu kegelisahanku. Aku tak tahu mau berkata apa dengan Tuhan, karena sejujurnya aku tidak berani bilang kalau aku belum bisa beralih darinya tapi ia sudah menjadi milik Tuhan dan bagaimana bisa kurebut.