Lihat ke Halaman Asli

Masa Lalu

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerbung Sudut pandang Tabi

Menikmati deburan ombak di malam hari ternyata lumayan menenangkan, otakku tidak lagi penuh emosi karena Ory, dan tubuhku rasanya punya kekuatan untuk bertahan  sampai tengah malam nanti. Ibu Suri duduk di tepian pantai, beberapa kali dia membentangkan kedua tangannya kemudian sambil menghirup udara pantai dia memejamkan mata. Mungkin dia sedang mengenang adegan Jack – Rose-nya sendiri disini. Berani bertaruh dia akan bilang, pantai ini tidak kalah romantis dengan megahnya Titanic. Tingkah laku Ibu Suri kali ini membuatku tersenyum, benar-benar tersenyum, senyum yang sesungguhnya, bukan hanya karena basa-basi atau terpaksa. Lalu…tanpa aku minta, Ibu Suri mulai membagi kisahnya di masa muda. Kebiasaan burukku adalah mendengarkan cerita orang Cuma satu telinga, telinga yang satu mendengarkan hatiku dan kicauan pikiranku berserta lamunannya,  walhasil saat sipembicara bertanya, aku gelagapan, tidak siap memberi jawaban yang tepat. Tidak tahu, settinganku sudah seperti ini, aku sulit konsentrasi pada satu hal kalau menyangkut kegiatan mendengarkan. Orang akan bilang aku pendengar yang baik tapi aku mengakui sendiri sebenarnya mereka tertipu, aku bukan pendengar yang baik, tidak sama sekali. ”Sekarang kau ceritakan kisahmu” ”Kisah? Kisah apa?” Aku sendiri merasa tidak punya kisah yang bagus untuk diceritakan, apa yang harus aku katakan padanya? Bahwa aku belum pernah pacaran? Tidak, itu memalukan. Bahwa aku memilih untuk kerja pada anaknya, dan memilih cuti kuliah? Itu juga tidak penting aku pikir. ”Aku tidak punya cerita menarik” ”Masa kecilmu mungkin?” Kepalaku sudah menggeleng cepat sebelum bayangan suram masa kecilku mengacaukan mood-ku. ”Amazing, 21 years old with no story” Aku hanya tertawa getir, terserah dia mau bilang apa, aku tidak berniat bercerita apapun kepadanya. “Kau tahu kalau Ory gay?” Dia menanyakan perihal anaknya, dengan enteng, seolah-olah gay bukan sebuah masalah baginya. Aku mengangguk. ”Kau tahu dulu pernah punya pacar perempuan di Amerika?” Aku mengernyitkan alisku, dan dia sudah bisa membacanya, kalau itu ekspresi ketidak tahuanku. ”Dimana dia sekarang?” Ibu Suri berinisiatif menceritakan tentang Ory kepadaku, tapi saat aku berusaha merespons walau sebenarnya aku tidak begitu peduli karena tidak ada hubungannya denganku, Ibu Suri terlihat tidak antusias lagi. Aku Cuma bisa menelan ludah saat akhirnya dia menjawab.

”Meninggal…bunuh diri”

-to be continue-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline