Lihat ke Halaman Asli

Frosty

Rivo

(In)Toleransi dan Media Sosial

Diperbarui: 14 Februari 2022   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, perkembangan IPTEK menjadi pisau bermata dua bagi umat manusia. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya kelompok yang bertujuan sama lewat medsos sebagai sarana berkomunikasi. Ironisnya, kelompok-kelompok yang bertujuan negatif dan bersifat menghancurkan perdamaian justru dipermudah dengan adanya medsos. Medsos menjadi sarana yang praktis bagi para penebar kebencian dalam menyebarkan konten-konten pemecah bangsa. Salah satu topik yang paling berbahaya adalah mengenai sikap intoleransi.

Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat beragam dalam hal suku, budaya, ras, dan agama. Keberagaman tersebut merupakan keunggulan, sekaligus juga menjadi kelemahan dibidang tertentu, salah satunya adalah menyangkut kesatuan bangsa. DIlansir dari hasil survei International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan jaringan GUSDURian mengenai penelitian "Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan Berbasis Agama". Menggambarkan bahwa kelompok-kelompok yang menyebarkan sikap intoleransi dengan cara-cara radikal dapat mengancam kehidupan keberagaman.

Sikap intoleransi menjadi sangat berbahaya ketika telah tersebar luas di medsos, karena penyebarannya relatif cepat. Hasil pemetaan INFID dan jaringan GUSDURian dalam risetnya menunjukkan kurang lebih 90 ribu akun yang memuat pesan radikal dan ekstremisme dalam waktu sebulan. Data tersebut diambil dalam lingkup Indonesia saja, yang mana sudah menunjukkan angka yang tak sedikit lagi.

Sikap intoleransi yang berlebihan harus segera ditindaklanjuti dengan tegas. Hal tersebut dimaksudkan agar kelompok-kelompok seperti Al Qaeda dan ISIS tidak lagi bisa bangkit dan meneror lagi. kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok terorisme yang terbentuk akibat rasa intoleransi yang begitu kuat. Kelompok tersebut bisa mengglobal karena medsos itu sendiri. Doktrinasi dan perekrutan anggota mereka lakukan lewat postingan di salah satu medsos dengan pengguna terbanyak, yakni Facebook.

Facebook menjadi pilihan terbaik karena berbagai alasan yang mendukung mereka. Pertama-tama, Facebook merupakan salah satu medsos terbesar yang tidak memiliki filter yang ketat terkait konten sensitif. Berbeda dengan Instagram, yang mana memiliki filter yang ketat dalam menyaring konten sensitif dan berbahaya. Dilansir dari idntimes.com tahun 2019, ditemukan sebanyak 1,9 juta postingan yang terkait dengan intoleransi dalam bentuk terorisme oleh Al Qaeda dan ISIS di Facebook. Dilansir dari laman The Vergo edisi Rabu (15/5), Facebook dapat mengumpulkan data-data tersebut dengan menggunakan mesin khusus sebagai pencari semua aktivitas terkait terorisme.

Berdasarkan data diatas, seharusnya developer Facebook memperbarui sistem proteksinya, mengingat bahwa Facebook adalah salah satu medsos dengan pengguna terbanyak dan pernah digunakan Al Qaeda dan ISIS sebagai medsos utama untuk menyebarkan doktrin intoleransi. Saat ini, Facebook masih memiliki celah dalam hal filter terkait konten berbahaya atau sensitif, yang mana memiliki resiko tinggi kembalinya kelompok-kelompok seperti yang dijelaskan diatas.

Rasa toleransi yang kini menurut hasil riset INFID masih tergolong tinggi bisa mengalami penurunan, jika beberapa medsos masih saja memberikan celah yang dapat dengan mudah dimasuki konten-konten pemecah bangsa. Hal ini juga berbahaya jika berlanjut, karena hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa pemuda bisa terdorong melakukan tindak terorisme akibat frustasi dengan kehidupan sosialnya sebesar 12,5 persen. Dan mereka yang menyetujui tindakan kekerasan untuk melawan kafir sebesar 22,2 persen.

Sebenarnya, sikap intoleransi dimiliki oleh semua manusia, yang mana merupakan salah satu sifat alami mereka yang mudah terpicu. Pada teori in-group favoritism yang dikemukakan oleh William Sumner, menyatakan bahwa manusia cenderung lebih menyukai anggota kelompoknya sendiri daripada kelompok lainnya. Hal yang cukup berkaitan juga diungkapkan oleh Berscheid dan Walster dalam teori mereka, yakni Similarity/Attraction Theory. Teori tersebut menyatakan bahwa seseorang cenderung menyukai orang yang mirip dengan mereka. Seperti halnya kita yang pastinya lebih mendukung negara Indonesia ketika melawan negara lain dalam sepakbola, hal tersebut merupakan intoleransi yang tak kentara karena tidak saling merugikan. Berbeda halnya jika rasa intoleransi terpupuk subur, sehingga berakibat tindakan radikal yang dapat memecah belah bangsa.

Kunci dari penghapusan intoleransi adalah dialog dan keterbukaan. Dialog antaragama merupakan langkah yang tepat untuk memupuk rasa toleransi. Tepat pada tanggal 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb menandatangani "The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together". Mengutip dari mediaindonesia.com, pada bagian akhir dokumen, Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar Ahmad al-Tayyib mengajak agar deklarasi ini menjadi undangan untuk rekonsiliasi dan persaudaraan di antara semua umat beriman, juga di antara umat beriman dan yang tidak beriman, dan di antara semua orang yang berkehendak baik.

Sumber :

https://mediaindonesia.com/internasional/355422/mengenal-dokumen-abu-dhabi-dalam-pertemuan-jk-paus-fransiskus

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline