Makanan Halal, Apakah Bisa Sebagai Pemisah Anak Bangsa? Semoga Tidak.
Indonesia adalah Negara dengan multi budaya, bahasa dan suku. Efek dari keragaman ini mengakibatkan multi kepercayaan tentunya. Tidak gampang mempersatukan negara seluas benua eropa ini, sebaliknya betapa gampang memecahnya, karena pada dasarnya memang sudah beragam, sehingga sedikit issu saja dinaikkan sudah cukup mengundang reaksi besar.
Sudah dua bulan berturut turut blogcompetition di platform tercinta ini berbicara tentang makanan halal yang disponsori oleh Departemen Agama, sehingga nuansa platform ini cukup ramai dengan tulisan tulisan tentang produk halal dan mengingatkan umat betapa pentingnya mengkonsumsi makanan halal.
Saya mungkin hanya satu satunya yang merasa tergelitik dengan atmosfir ini, sehingga efek rasa tergelitik itu adalah tulisan sederhana yang ingin menggelitik orang yang barangkali memiliki ide serupa.
Makanan bisa jadi Pemersatu dan Pemisah
Di berbagai daerah di Indonesia, makanan adalah ajang pemersatu, sehingga sering dibuat bazaar makanan sehingga menjadi ajang berkumpul, terkadang pun makanan hanya dicicipi sedikit tapi ngobrolnya lebih lama dan biasanya penyelenggara event pun okay okay saja. Di beberapa suku, makanan menjadi penyampai pesan, pesan yang dipandang cukup enggan disampaikan dengan oral karena akan terlalu vulgar, contohnya; di suku batak, daerah Tapanuli Utara, pada zaman dahulu apabila seorang gadis ingin memberitahu orang tuanya bahwa dia hendak dilamar pria idaman hatinya, maka dia akan kasih kode dengan memasak makanan dengan rasa asin yang ekstrim. Orang tua yang paham akan berespon dengan bertanya "Kapan pihak keluarga laki laki akan datang?" dan itu akan jadi awal diskusi apakah keluarga si perempuan setuju dengan rencana pernikahan tersebut. Jadi sejak lama makanan sering jadi alat komunikasi dan pemersatu.
Nah, bagaimana dengan makanan jadi alat pemisah, bisakah terjadi? Ketika makanan bisa jadi alat pemersatu, saya juga berpikir bahwa makanan juga berpotensi jadi alat pemisah.
Konsep halal adalah konsep yang familiar di negara kita, mengingat mayoritas kita adalah penganut agama Islam. Seperti demikian:
"Jadi pada intinya makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dalam Al-Qur'an dan hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur'an maupun hadits. Tetapi dalam hal yang lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma'dan qiyas (ra'yi/ijtihad) terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan hukum yang syub-had (menimbulkan keraguan)".(Sumber)
Apakah gampang atau sederhana penerapannya? Entahlah..rasanya tidak sesederhana itu.
Kasus ini bisa menjadi kasus kecil yang mungkin tidak perlu dibesar besarkan, tapi terjadi di sebahagian masyarakat. Dalam pertukaran makanan antar tetangga, sahabat saya berkata bahwa dia memberi makanan ke tetangganya yang Muslim diterima degan senang hati oleh sang tetangga, tapi dibuang dibelakang, dan yang disuruh membuang adalah pembantunya, dan hal ini ketahuan karena sesama pembantu itu pun bergosip ria..dan sampailah ketelinganya.. bahwa makanan yang selama ini kelihatan selalu diterima dengan senang hati oleh sang tetangga ternyata dibuang di belakang.