Lihat ke Halaman Asli

Dilema 2023, antara Nafsu, Cinta, dan Logika

Diperbarui: 31 Desember 2023   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2024 sudah di depan mata. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu dalam ombang ambing dunia yang semakin tak menentu ini. Banyak hal yang bisa dipelajari selama melangkahi tahun 2023. Setidaknya, saya punya satu hal yang bisa saya bagikan kepada Anda semua.

Tahun 2023 mengajarkan saya pelajaran paling penting. Ini mengenai konsistensi, komitmen, dan upaya tarik menarik dalam ketegangan menjadi seorang manusia yang utuh, sekaligus rapuh.

Sebagai seorang manusia yang selalu merasa gelisah, saya mengalami satu rangkaian fenomena hidup yang menuntun saya pada hipotesis (jika menyebut kesimpulan adalah sebuah bentuk arogansi) bahwa manusia sejatinya tidak pernah meminta untuk dilahirkan.

Tidak ada manusia yang memohon kepada orangtuanya agar dapat dilahirkan ke dunia ini, terlepas dari latar belakang keluarga tersebut seperti apa. Meski memang, hal yang miris kemudian adalah terdapat candaan seperti "dia mimpi apa ya, bisa dilahirkan di keluarga tajir melintir seperti itu?" 

Seolah saya melihatnya bahwa kebahagiaan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat material saja, dalam hal ini mungkin uang. Namun tetap, sejatinya manusia yang dilahirkan dari keluarga paling tajir melintir se-antero galaksi ini pun tidak pernah memohon untuk dapat dilahirkan ke dunia ini, sebelum pada akhirnya ia benar-benar terlahir di dunia ini.

Kelahiran seorang manusia sejatinya berbicara dua hal, yang pertama soal tanggung jawab, dan yang kedua soal nafsu. Persoalan kedua, tentu tidak akan muncul bila persoalan pertama dapat dikelola dengan baik.

Masalahnya, ada berapa banyak jumlah keluarga tidak mampu yang berada di dunia ini? Ini adalah masalah serius yang bisa mendorong manusia untuk berpikir dalam delusi. Ia tidak lagi bisa membedakan mana cinta, mana nafsu, mana logika.

Terlebih, sebuah pepatah yang mungkin selama ini kita ketahui; "banyak anak, banyak rejeki". Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata saya, sebagai orang tua justru tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anak tersebut?

Jangankan berbicara soal rejeki dalam arti kekayaan material. Bagaimana dengan kondisi keluarga-keluarga yang mungkin masih kesulitan untuk makan setiap harinya?

Selama ini mungkin sebagian besar orang tua menuntut agar anaknya dapat mengerti dan memahami segala macam kondisi keluarga tersebut.

Dalam hal ini, kita akan fokus berbicara mengenai status ekonomi. Tak jarang anak-anak di dunia ini mendapatkan tuntutan harus bisa menyesuaikan dan memahami bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline