Lihat ke Halaman Asli

365 Days, Ini Kata Mereka!!

Diperbarui: 16 November 2022   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita Gosip, Musik, Kabar Artis, Foto dan Video - Tabloidbintang.com 

Halo pembaca setia Fristian! Kali ini kita akan membahas film lagi. Film yang akan dibahas kali ini dapat dikatakan sebagai salah satu film yang kontroversial di tahunnya (bahkan mungkin sampai sekarang). Disebut kontroversial karena dalam film ini banyak terdapat adegan sensual yang tentu tidak dapat ditayangkan di televisi. Ya!! Film tersebut berjudul 365 Days (2020). 

Secara singkat, film ini mengisahkan tentang penculikan seorang wanita bernama Laura oleh seorang anggota dari keluarga mafia Sicilian bernama Massimo. Penculikan tersebut dilandasi motif berupa Massimo yang sebenarnya sudah menyukai Laura sejak pertama kali Massimo menatap Laura saat sedang berada di mobilnya. 

Film ini masuk ke dalam genre drama romantis. Sesuai dengan ciri-ciri film dengan genre drama. Pertama plot atau ceritanya sangat kuat, lalu karakter, latar waktu dan tempatnya sangat realistis, emosi dan hubungan antar karakter sangat intens, dan mengusik emosi penonton: antara sedih, gembira, atau marah (Astuti, 2022).

Pembahasan film kali ini akan lebih dititikberatkan pada bagaimana audiens memaknai pesan yang terdapat dalam film 365 Days tersebut. Maka dari itu, penulis sudah bertanya pada tiga orang terkait film 365 Days. 

Tiga orang tersebut adalah Christian Suherli, Wilson Gunawan, dan Delvin Wijaya. Latar belakang dari masing-masing orang tadi yakni sebagai mahasiswa (Christian Suherli), teman lama (Wilson Gunawan), dan teman yang memang sering menonton berbagai macam film dengan genre yang berbeda (Delvin Wijaya).

Mulai dari penonton pertama. Menurut Christian, film 365 Days merupakan film yang berbahaya. Karena menurutnya, zaman sekarang kita sudah tidak bisa menahan anak-anak untuk mengakses gawai mereka. Ada kemungkinan dimana anak-anak yang masih di bawah umur menonton film tersebut dan tahu mengenai hal-hal seksual sebelum waktunya. 

Selain berbahaya, Chris juga menambahkan bahwa film ini seharusnya tidak tayang di Netflix, melainkan di situs-situs film dewasa. Karena bagi Chris, dalam film ini lebih banyak adegan sensualnya dibandingkan dengan adegan-adegan lain yang normal (tidak terdapat unsur sensualnya). 

Lain halnya dengan apa yang dijelaskan Wilson. Menurut Wilson, justru film 365 Days memiliki kecenderungan untuk membuat (menghegemoni) masyarakat yang menontonnya mengenai definisi kesuksesan dalam hidup. Film 365 Days dapat membuat orang merasa bahwa ukuran kesuksesan seseorang adalah dari hartanya, dan jika seseorang tersebut sudah sukses maka dia bisa melakukan apa saja yang disukainya (termasuk menculik wanita demi kepuasan birahinya semata). Wilson melihat film 365 Days dengan lebih kritis dari orang pada umumnya. 

Hal serupa juga terdapat dalam tanggapan Delvin. Hanya saja, Delvin lebih menitikberatkan pada aspek penculikan dalam film tersebut yang dirasa kurang maksimal/menonjol. 

Delvin merasa film 365 Days lebih banyak berisi tentang adegan-adegan seksual, daripada adegan penculikan, adegan tembak menembak, dan adegan-adegan lain yang tidak terdapat unsur sensualnya. Sehingga, seakan-akan sutradara dalam film ini terlalu menginginkan filmnya ditonton oleh banyak orang, dengan menjadikan adegan seksual sebagai bentuk jualannya (komodifikasinya). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline