Lihat ke Halaman Asli

Penyebaran Deepfake Videos dalam Jurnalisme Multimedia

Diperbarui: 17 Oktober 2022   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Next Great Tool for Winning Customers and Training Employees: Deepfakes | Inc.com 

Untuk versi podcast bisa didengarkan dengan mengklik tombol ini

Istilah hoax/informasi palsu dalam dunia jurnalisme multimedia mungkin terdengar tak asing, terutama hoax dalam bentuk artikel/teks. Namun pernahkah Anda mendengar istilah deepfake videos? Sekilas deepfake videos dapat dikatakan sebagai video hoax/video palsu, namun yang menjadi kepalsuan disini bukan hanya sekadar substansi informasinya saja, akan tetapi memalsukan wajah dan suara dari seseorang untuk diganti dengan wajah dan suara salah satu tokoh terkenal.

Biasanya deepfake videos digunakan untuk menghancurkan nama baik/reputasi dari seseorang yang cukup terkenal. Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai mengapa ada deepfake videos, serta bagaimana cara terhindar dari deepfake videos/tahu caranya membedakan mana video asli dengan deepfake videos.

Untuk mengawali pembahasan, kita akan mulai dari sejarah berkembangnya hoax di Indonesia dan mengapa selalu ada orang yang ingin memproduksi hoax. Dilansir dari laman resmi Kominfo, peningkatan situs berita bohong terjadi sejak Oktober sampai pertengahan Desember 2016.

Namun sebetulnya istilah hoax sendiri sudah muncul setidaknya sejak rezim Soekarno. Meski memang untuk hoax online itu baru berkembang pada saat era pemerintahan Joko Widodo.

Yang menjadi permasalahan utama sebetulnya tidak hanya dampak hoax, tapi mengapa masih ada saja manusia-manusia yang bertendensi untuk memproduksi hoax? Bahkan tidak berhenti sampai di artikel hoax, kemajuan teknologi digital pun dimanfaatkan untuk membuat hoax dalam bentuk deepfake videos.

Dilansir dari Tempo.co, motif utama manusia dalam memproduksi hoax adalah karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang dimaksud disini adalah, dengan semakin banyaknya orang yang penasaran dalam mengklik konten hoax tersebut, maka akun yang digunakan dalam membuat konten itu semakin berpotensi tinggi untuk dijual dengan harga yang menjanjikan. Alasan lainnya adalah, selain untuk dijual, potensi iklan untuk masuk juga akan semakin tinggi bila semakin banyak masyarakat yang penasaran dengan konten hoax tersebut.

Namun, menurut penulis sebetulnya ada alasan yang lebih dalam dari sekadar faktor ekonomi. Karena logika sederhananya, bila seseorang memiliki uang untuk membeli gawai dan kuota internet setiap bulan/minggu demi memproduksi hoax, maka seharusnya untuk makan pun dia bisa.

Maka alasan yang lebih masuk akal dari faktor ekonomi adalah untuk mendapat kepuasan secara psikologis. Kepuasan disini berkaitan dengan rasa bangga yang diperoleh seseorang atau pihak tertentu ketika berhasil memproduksi suatu hoax. Mekanisme logikanya mirip seperti psikopat, mereka bangga/senang ketika sudah melakukan suatu kejahatan misalnya membunuh orang lain.

Kemungkinan lainnya dari alasan memproduksi hoax adalah, untuk balas dendam. Misalnya si X memiliki dendam dengan salah satu sosok dalam rezim yang sedang berjalan, karena dahulu katakanlah anggaran yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki jalan yang rusak di kotanya, malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Bisa saja kemudian si X dengan sengaja memproduksi hoax sebagai ajang balas dendam, dengan harapan ada masyarakat yang percaya bahwa sosok yang dia benci itu memang memiliki perilaku yang demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline