Tumbuh dewasa dengan berbagai stereotip memang hal yang tidak bisa dihindari sebagai manusia yang lahir dengan identitas gender. Namun tanpa kita sadari, banyak orang yang salah menginterpretasikan konsep dari "Gender" itu sendiri. Gender merupakan hasil konstruksi sosial yang mengacu pada karakteristik, peran, dan perilaku yang diasosiasikan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki. Berbeda dengan jenis kelamin, gender bukanlah bawaan dari lahir sehingga dapat bervariasi dan berubah seiring waktu.
Maskulinitas merupakan bentuk dari gender yang sering dikaitkan dengan laki-laki. Maskulinitas biasanya digambarkan sebagai kekuatan dan kesuksesan. Beberapa karakteristik maskulin yaitu agresif, tangguh, pemberani, menjauhkan diri secara emosional dan fisik dengan sesama pria, menahan emosi, independen, kepemimpinan, dan lain lain. Lalu bagaimana tanggapan masyarakat apabila seorang laki-laki tidak cukup memiliki sifat maskulin?
Seperti yang dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita, para laki-laki yang memiliki sifat maskulin biasanya diberi pujian dan dikagumi. Sedangkan yang tidak justru dinilai kurang baik bahkan dibully oleh masyarakat. Hal ini merupakan salah satu contoh toxic masculinity. Toxic masculinity yang secara bahasa berarti maskulinitas yang beracun merupakan budaya masyarakat yang berupa ekspektasi kepada kaum pria agar memiliki sifat maskulin, namun bersifat menekan dan memaksa. Toxic masculinity juga mengatur pria untuk menghindari hal-hal yang bertolak belakang dari maskulinitas dan kekuatan. Tidak bisa dimungkiri, toxic masculinity sudah ditanamkan di dalam diri kita sedari kecil dan dinormalisasi oleh masyarakat.
Lelaki tidak boleh menangis, tidak perlu memakai skincare, tidak pantas dibonceng perempuan, tidak cocok memakai pink dan banyak lagi contoh perilaku toxic masculinity yang sudah biasa kita dengar atau bahkan tanpa sengaja kita ucapkan. Ucapan-ucapan remeh tersebut dapat mengekang dan tidak memberi mereka kebebasan berekspresi. Hal ini ternyata dapat memberi dampak buruk terhadap kesehatan mental seorang pria dan bahkan dapat menyebabkan krisis identitas. Berikut adalah penjelasan bagaimana toxic masculinity memengaruhi kesehatan mental:
1. Ketakutan dalam berekspresi
Maskulinitas yang sering diartikan sebagai kekuatan dan ketangguhan sangat bertolak belakang dengan kelemahan. Secara tidak langsung, pria dipaksa untuk menyembunyikan ekspresi yang dapat menunjukkan kelemahan mereka seperti perasaan sedih, takut, bingung, dan lain lain. Mereka akan sulit mengenali diri mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan stres yang disebabkan oleh faktor internal atau bahkan depresi.
2. Cenderung menggunakan kekerasan fisik
Seorang pria digambarkan sebagai sosok yang kuat oleh masyarakat. Hal tersebut dapat memberi tekanan kepada pria agar mereka berlomba-lomba membuktikan kekuatan mereka salah satunya adalah kekuatan fisik. Kebiasaan pria dalam menggunakan kekuatan fisik semakin dinormalisasi oleh masyarakat. Namun justru hal tersebut dapat memicu kekerasan fisik apabila seorang pria sedang mengalami stres dan tidak bisa mengendalikan emosinya.
3. Penggunaan rokok dan obat-obatan
Tekanan yang diberikan masyarakat dan keluarga dapat menimbulkan stres. Apabila stres terjadi secara terusmenerus, hal ini dapat berdampak buruk kepada kesehatan mental seseorang yang dapat menjadi faktor penggunaan obat keras dan rokok. Selain itu, ajakan orang lain untuk mengonsumsi rokok dan obat keras dapat menjadi jembatan yang membuat seseorang berakhir ketagihan dan ketergantungan.
4. Berdampak buruk kepada pasangan