Lihat ke Halaman Asli

frisilia utami

Mahasiswa universitas negeri Yogyakarta

What's wrong with Indonesia?

Diperbarui: 25 Agustus 2024   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini aku merasa begitu muak menjadi bagian dari bangsa ini. Bukan, bukan karena aku tak cinta dengan bangsaku, tanah kelahiranku. Bukan, bukan pula karena aku tak sayang dan tak setia pada tanah tumpah darahku atau bukan karena aku merasa malu dengan label "negara berkembang" yang masih menempel erat pada negeriku ini yg memang harus kuakui sedikit tertinggal di belakang dibandingkan negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan lain sebagainya.  Sejujurnya, aku hanya muak dengan segala kemelut yang tengah terjadi di negeri ini. Aku hanya muak pada mereka yang mengaku menjadi pemenang mandat dan tanggung jawab atas kemajuan bangsa ini, yang dengan lantang dan berani telah melabeli diri sebagai pemimpin, Khalifah bagi bangsa ini, yang namanya ingin selalu dieluh-eluhkan sebagai Hero walau pada kenyataannya mereka hanyalah penghianat bertopeng yang sering merongrong dan menggerogoti kesehatan bangsa sendiri. Ya, aku sangat muak dengan mereka yang duduk diatas singgasana mewah yang dibuat dari tetesan darah dan keringat para pejuang kemerdekaan, yang dihasilkan dari keringat dan penderitaan rakyat Indonesia yang malang. Mereka dulunya begitu ramah tamah dan berwibawa menabur janji manis bak berupa-rupa madu pada bangsa ini tapi kemudian pada kenyataannya mereka malah dengan sengaja menyebar racun pada tubuh ibu Pertiwi. Semua, hampir semua sisi kehidupan bangsa ini telah dipermainkan, mereka duduk bergaya diatas singgasana memainkan game monopoli bangsa ini, tertawa dan berbahagia diatas jutaan tangis dan duka rakyat Indonesia yang malang. Semua telah dikotori, dikencingi oleh tikus-tikus berdasi yang merancang kongkalikong canggih untuk membodohi saudara sebangsa sendiri demi kepentingan pribadi.

Jelas sudah, harta dan takhta memang sering membutakan. Jarang sekali, menusia tak tergoda bila menyangkut hal yang bernama uang dan jabatan. Semuanya bisa menjadi gila, cacat moral dan mati logika bila uang telah berhasil merajai hati dan pikiran. Dosa, tak takut mereka dengan dosa. Barangkali tuhan pun ingin mereka bodoh-bodohi.

Aku ingin tertawa sekaligus menangis menyaksikan segala drama kekanak-kanakan yang ditampilkan oleh mereka, para tikus berdasi yang dulu katanya adalah bukti dan produk nyata hasil pendidikan elit bermutu tinggi, yang katanya di didik dengan mengedepankan karakter dan Budi pekerti luhur. Oh lucunya mereka bersandiwara diatas panggung bangsa ini, awalnya begitu tampak suci dan bersih. Anti money, menolak segala jenis penyimpangan moral berkaitan dengan materi. Ternyata oh ternyata mereka ada dalangnya, Mastermind of kongkalikong yang sering mereka pungkiri, mereka dustai dan mereka kecam "haram tak bermartabat".  Faktanya, mereka lah yang telah menjadikan bangsa ini seperti bank berjalan demi memuaskan ego pribadi. Apa itu mengabdi pada negeri?, yang ada mereka sering kalap, lari lintang pukang, gesit sana sini menyilap kekayaan bangsa ini. Keliatan sekarang bila mereka yang telah bermahkota nampak begitu enggan untuk turun takhta sebab power syndrome telah menguasai jiwanya. Yang kaya makin kaya, borjuis hidup jaya sementara yang miskin sedikit terhibur dengan bansos beras dan minyak murah dan sedikit uang jajan yang tak jarang memberikan efek melenakan, menumpulkan ketajaman indra, menjadikan mereka anti-kritik sebab pikiran mereka mandek, mogok mikir. Tak sadar betul bahwasanya uang bansos itu hanyalah seuprit dari harta karun emas yang telah dirampok para penjajah lokal ini, sisanya yang berjibun sudah masuk kantong pribadi yang kelak akan mereka gunakan untuk memanjakan madam- madam mereka yang butuh dana untuk mempercantik diri, mempertahankan gaya hidup hedon ala borjuis. Bangga bukan main mereka bisa menambah hutang negara demi memuaskan gaya hidup para nyoya dirumah dengan alibi yang begitu manis "demi rakyat, semi memberi bantuan bagi orang-orang miskin negeri in". Pandai betul mereka memanipulasi seolah kaum proletar lah yang harus disalahkan sebab karna demi mereka lah, negara harus terlilit hutang sana sini. Sedih memang menyaksikan kaum proletar ini dimanipulasi, dininabobokan, dipupuk harapannya setinggi mungkin namun kemudian tatkala mereka telah terlelap mereka ditusuk dengan belati.

Susahnya hidup kalau semua orang bersikap egois. Yang miskin merasa paling menderita, inginnya dikasih bantuan saja tanpa benar-benar melihat bahwa yang membantu kadang tidak serius membantu sebab sebenarnya mereka bak memberi pinjaman berbunga. Bansos itu tidak cuma-cuma sebab ada harga yang harus dibayar sebagai ganjarannya. Tak ada yang gratis sebab nanti anak cucu kedepannya yang akan membayar mahal untuk bansos tersebut.

Yang borjuis, oh sungguh nikmat. Hidup mereka semakin bergelimang kemewahan sebab proyek proyek semakin lancar jaya. Pejabat negara bisa dijadikan kacung kalau sudah disodori uang merah-merah. Nah, yang paling mengesankan dan menggelitik adalah keberadaan kelas menengah. Lucunya mereka yang tak dapat apa-apa. Mereka tak dapat bansos, tak pula dapat proyek. Mereka hanya dapat janji manis saja. Jelaslah mengapa mereka sering murka sebab mereka diperlakukan macam anak tiri. Kalau sudah murka, ya mereka akan berulah. Demo dijalan, unjuk rasa di sosmed, mogok sana sini. Akhirnya mereka semua mengukuhkan diri sebagai pengamat politik profesional, kritikus handal, orator ulung dan aktivis pejuang kebenaran. Pembela rakyat kaum lemah. Heboh sekali jika mereka bikin masalah. Pejabat negara kadang ketar ketir dibuatnya. Tapi, kadang usaha dan perjuangan mereka demi kebenaran harus mandek sebelum benar benar menelurkan hasil. Ya mau bagaimana lagi, mereka ini kebanyakan dari kalangan anak muda yang gampang digertak nyalinya. Mikir dua kali juga mereka kalau sudah diancam akan dicabut beasiswanya, ditendang tidak hormat dari civitas akademika yang telah membesarkan namanya. Ada juga yang diteror akan diberhentikan dari jabatan nya sebagai pegawai honorer atau aparatur sipil negara. Parahnya banyak dari mereka yang ditakut takuti dengan ancaman elegan "diberi label anti pemerintah dan pro komunis, pro anarkis". Wah gawat sekali ini mah.

Nah kalau sudah demikian, pembaca yang budiman barangkali bertanya tanya, penulis amatir seperti aku ini kiranya masuk kategori mana. Maka jawabannya sedikit mengharukan. Aku payah sebab aku sudah kalah dari awal sehingga aku dengan sukarela telah menasbihkan diri ini sebagai pengamen bangsa yang hanya duduk lesu, menyanyi frustasi di pojokan. Bingung sendiri dengan keadaan negeri ini. Tapi ya begitu, kerjaan ku ini hanyalah bingung .

Maka sejauh mata memandang dari segala keruwetan yang tengah disuguhkan oleh para pemain sirkus politik di negeri ini dari hari ke hari , aku tak dapat berbuat banyak, hanya bisa memberi sedikit komentar dan berkubang dengan rasa frustasi ku sendiri. Oh aku bersamamu, negeri ku yang malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline