Lihat ke Halaman Asli

MARS, Planet yang Sebenarnya Tak Bersinar

Diperbarui: 13 Mei 2016   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menyaksikan film MARS, Mimpi Ananda Raih Semesta yang ditayangkan dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional ternyata belum bisa memberikan gambaran utuh tentang pendidikan di Indonesia. Film dengan setting GunungKidul Yogyakarta, Sahrul Gibran selaku sutradara, berusaha mewujudkan mimpi Tupon (Kinaryosi) -yang mungkin mewakili mimpi seluruh orangtua di Indonesia- tentang sekolah, beasiswa sampai kuliah ke luar negeri tetapi tidak berhasil memberikan otokritik terhadap pendidikan di Indonesia.

Film yang berusaha memberikan cerita pendidikan, seakan-akan terjebak dalam lingkaran waktu yang tidak sinkron. Gambaran dalam film ini seperti terlambat 10 tahun dari waktu yang sesungguhnya. Pola pengajaran “Ini Budi” terasa tidak tepat karena sudah tidak lagi digunakan pada masa tahun 85an, entah kalau tahun 70an. Film yang tidak menawarkan konflik ini terasa “meluncur” dengan faktor-faktor kebetulan, bahkan tanpa titik kulminasi yang dapat menghentak perasaan penonton. Kematian Tupon sang Ibunda, yang baru diketahui Sekar Palupi (Acha Septriasa) saat kepulangannya setelah menempuh studi di London Inggris selama beberapa tahun menjadi terasa hambar. Tahun 2005 (saat kematian Tupon) adalah era millenium dimana komunikasi global sudah dalam genggaman, dan GunungKidul semiskin-miskinnya pasti telah terimbas dengan kemajuan tekonologi informasi dan komunikasi. Bagaimana mungkin kematian sang Ibu tidak diketahui sampai 2 tahun kemudian. Di sisi lain, gambaran kontradiktif antara Sekar Palupi yang “bersenang-senang” menempuh studi dengan tertatih-tatihnya sang Ibu mengayuh sepeda, seperti mengisyaratkan betapa tidak pedulinya sang anak terhadap sang Ibu.

Film ini dibuat dengan “menu kebetulan” yang sangat banyak dan tanpa konflik. Tidak ada peran antagonis sehingga seolah-olah dunia yang dihadapi Sekar dan Tupon terasa indah, nyaman, dan penuh dengan orang-orang baik. Satu-satunya kesulitan yang mereka hadapi hanya terjebak dalam kemiskinan, lain tidak. Belum lagi lompatan-lompatan waktu yang terasa cepat makin memiskinkan konflik yang seharusnya bisa saja terjadi. Kisah pedih pensil yang hilang atau lamaran seseorang untuk menikahkan Sekar dengan seorang duda hanya riak kecil emosi yang ingin dibangun sang Sutradara tanpa konflik yang berkelanjutan. Perubahan sejak sekolah dasar sampai kelulusan Sekar yang ditampilkan sebagai pembuka kisah film ini terasa “mulus” dan “serba mudah”, sehingga tidak banyak kisah heroik Tupon  menyekolahkan Sekar hingga lulus sarjana, padahal sebenarnya pesan ini yang ingin disampaikan.

Banyak pertanyaan yang terasa ganjil dan janggal, ketika sang Ibu yang “tidak berubah” dari waktu ke waktu –tetap bodoh dan buta huruf-, sementara sang anak berprestasi hingga mendapat beasiswa untuk kuliah bahkan ke luar negeri. Padahal hal pertama kali yang bisa dilakukan sang anak sebagai bakti anak terhadap Ibunya adalah membuat sang Ibu “melek huruf”. Kesan Gunungkidul sebagai daerah yang miskin dan tandus juga tidak terwakili, karena lebih banyak penampilan pemandangan hijau royo-royo dibanding dengan gunung batu yang kering dan tandus, seperti saat Surip (Teuku Rifnu Wikana), sang ayah mengalami musibah dan meninggal, itupun hanya muncul sekali.

Perjuangan seorang Ibu dari jaman Kartini sampai era Syahrini bisa jadi jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan dengan berbagai konflik yang lebih rumit dan bikin perut melilit. Jadi cerita perjuangan Tupon dalam menyekolahkan Sekar bukan sesuatu yang istimewa. Tidak jelas alasan Multi Buana Kreasindo mau membuat film yang diangkat dari novel karya Aishworo Ang ini. Meski belum membaca novelnya, tetapi terlihat betapa sulitnya mengadaptasi kisah ini menjadi layar lebar yang benar-benar menarik untuk ditonton. Secara penampilan Kinaryosih dan Acha Septriasa terlihat sangat baik dalam memerankan Ibu dan anak, tetapi karena tidak munculnya konflik-konflik yang menghentak, film ini menjadi datar dan tawar. 

Bagi seorang sutradara debutan, Sahrul Gibran belum memberikan sajian yang pas dengan film ini. Ia perlu belajar membuat konflik dan ketegangan secara natural untuk sampai pada "peak" walau nantinya harus merombak dari certa asli. Dan sesungguhnya Mars bukanlah bintang melainkan planet yang tidak bersinar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline