Sekelompok anak-anak kecil dengan berbagai baju daerah berbaris rapih, bergandengan sepasang-sepasang laki-laki dan perempuan.
Disampingnya berdiri para orangtua yang mendampingi dengan dipandu oleh para guru-guru sebuah taman kanak-kanak.
Tak jauh dari rombongan itu, terparkir tiga mobil minibus yang sudah dimodifikasi dengan tempat duduk berjajar 4 baris tanpa jendela, hanya dibatasi palang-palang besi pengaman dan dicat dengan warna mencolok. Umumnya disebut kereta odong-odong.
Secara teratur pasangan anak-anak dan orang tua itu menaiki kereta Odong-odong yang serempak memasang lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman lewat perangkat musik yang dibunyikan keras-keras dan diputar berulang-ulang, kereta odong-odong itupun mulai melaju secara perlahan.
Tidak ada antusiasme masyarakat sekitar, bahkan tidak ada lambaian tangan yang mengantarkan anak-anak layaknya melihat sebuah arak-arakan, ketika kereta odong-odong itu berjalan mengelilingi jalan-jalan kecil disekitar sekolah.
Tidak ada simbol apa-apa yang menunjukkan kegiatan anak-anak itu, baju daerah, bendera kertas merah putih, arak-arakan yang kini dimodifikasi dengan iringan kereta odong-odong bagaikan pawai tanpa penonton, meski sebenarnya masyarakat tahu kegiatan itu adalah bagian dari memperingati hari Kartini. Kemanakah getar arak-arakan dan pawai budaya baju daerah yang dulu begitu semarak? Kini pawai baju daerah dan karnaval atau arak-arakan hanya ritual tanpa makna.
Sejak meninggalnya R A Kartini tahun 1904, sangat sedikit informasi yang dipublikasikan tentang surat-suratnya yang menjadikan RA Kartini disebut sebagai pelopor emansipasi perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Bagaimana masyarakat mampu menterjemahkan perjuangan Kartini kalau membaca surat-suratnyapun tak pernah? Adakah surat-surat Kartini itu pernah dipublikasikan? dibahas atau dipresentasikan dengan keadaan kaum perempuan saat ini? Bahkan mungkin sebagian besar orang tak pernah tahu siapa orang yang diajak berkabar dan berbalas surat itu dan apa makna setiap surat yang dikirimkan oleh Raden Ajeng Kartini.
RA Kartini dianggap sebagai pelopor perjuangan untuk memperoleh pendidikan bagi kaum perempuan. Usahanya untuk mendapat beasiswa ke Belanda tidak sempat dipergunakannya karena RA Kartini telah dinikahkan. Bahkan simbol perjuangan Kartini diwujudkan mula-mula dengan pendirian sebuah sekolah. Tetapi saat ini boleh dikatakan tidak ada satupun sekolah-sekolah tingkat SD, SMP ataupun SMU yang merasa perlu untuk memperingati perjuangan Kartini, karena kini kesempatan bersekolah sudah menjadi sangat terbuka bahkan gratis di sekolah-sekolah negeri. Padahal meski kesetaraan kaum perempuan dalam memperoleh pendidikan bukan karena usaha RA Kartini seorang, minimal setiap siswi SD, SMP atau SMU bahkan mahasiswi harus tetap diingatkan, berkat perjuangan Kartini kesempatan kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan di Indonesia kini sama dengan kaum laki-laki.
Sebagian kecil masyarakat memang masih menjadikan hari Kartini sebagai hari yang spesial dengan membusanakan anak-anak mereka pakaian daerah dan melepas mereka dalam suatu arak-arakan, pawai atau karnaval, atau menyelenggarakan lomba busana daerah untuk anak-anak, atau kegiatan lain, tetapi pada tingkatan yang tidak lebih dari itu. Meski di setiap pemerintahan sejak jaman Soeharto hingga Jokowi selalu ada Menteri Wanita yang mengurus masalah wanita - Menteri Pemberdayaan perempuan- tetapi tidak pernah mengambil momentum Hari Kartini untuk menggalang sebuah gerakan untuk melindungi, memberdayakan dan memajukan kaum perempuan di Indonesia. Akibatnya Ibu-ibu Darma Wanita di kementerian-kementerian, Ibu-Ibu Bahayangkari atau PERSIT (Persatuan Isteri Tentara), Ibu-ibu PKK di kelurahan dan kecamatan tidak pernah lagi menyelenggarakan perayaan Hari Kartini karena tidak mampu lagi merancang sebuah tema yang cocok dengan perjuangan Ibu Kartini. Hari Kartini menjadi jargon kosong yang disolek dengan Ibu-ibu ramai-ramai berselfie ria menggunakan baju kebaya. Hari Kartini hanya berbatas 1 X 24 jam yang mudah berlalu begitu saja tanpa sebuah momentum dan berulang-ulang setiap tahun dalam keheningan.
Belum pernah sekalipun Menteri Pemberdayaan Perempuan atau dengan para menteri Wanita lainnya secara bersama-sama tampil di televisi yang disiarkan secara nasional mengajak kaum Ibu-ibu Darmawanita, Ibu-Ibu Bhayangkari, Ibu-Ibu PERSIT, Ibu-ibu PKK di kelurahan dan kecamatan untuk memperingati Hari Kartini dengan menggemakan semangat melindungi kaum perempuan dari eksploitasi, traffiking dan KDRT atau masalah-masalah lain yang masih banyak menghantui kaum perempuan. Peringatan Hari Kartini bisa dijadikan momentum untuk mengatasi masalah kematian Ibu melahirkan karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan, menyelamatkan generasi muda khususnya kaum perempuan dari sex bebas dan penggunaan narkoba, melindungi kaum perempuan dari eksploitasi sex, atau perdagangan wanita.
Peringatan Hari Kartini hanyalah simbol yang tampak lewat baju daerah anak-anak TK dan Taman bermain yang berkeliling dengan kereta Odong-odong. Mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang, akankah kita tetap menjadikan 21 April sebagai peringatan hari Kartini atau menghapuskan saja, karena kita tak lagi peduli dan hilang akal dalam memaknainya, toh Hari Kartini hanya milik anak-anak TK dan Taman bermain