Beberapa bulan terakhir ini kancah perpolitikan di Tanah Air mulai hingar-bingar mengenai isu "Ganti Presiden" dan "Tetap Jokowi" di tahun 2019. Prabowo Subianto digadang-gadang akan menjadi rival berat Petahana (Jokowi) pada Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia untuk periode 2019-2024 mendatang.
Koalisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga Partai Berkarya (partai non parlemen) sepakat untuk mengusung Prabowo sebagai calon presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 (cawapresnya masih menjadi "rahasia" Probowo). Sementara para ulama dalam ijtima nya juga menetapkan Prabowo sebagai bakal calon presiden dengan catatan calon wakil presidennya adalah Salim Segap Aljufri (kader PKS) atau Ustadz Abdul Somad.
Penujukan Ustadz Abdul Somad (41) sebagai calon wakil presiden mendapat sambutan hangat dari puluhan juta orang sebagai pendukungnya. Sedangkan Ustadz Somad sendiri secara santun dan halus berulang kali menolak hasil ijtima ulama dengan berbagai alasan walaupun bujuk rayu datang bertubi-tubi dari berbagai kalangan seperti yang disiarkan di televisi dan media massa lainnya.
Menurut penulis, sikap Ustadz Abdul Somad Lc.MA ini patut diacungkan dua jempol, karena kalau ustadz itu mengikuti kemauan keras dari hasil ijtima ulama, maka harga dirinya bisa terusik. Entah mau dimana disurukkan mukanya. Pasalnya pada hari H pengumuman nama bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo dari koalisi Gerindra, ternyata nama yang muncul adalah Sandiaga Salahuddin Uno (pengusaha muda yang sukses di bidangnya).
Akibatnya, impian sebagian ulama yang menginginkan agar dalam bursa capres dan cawapres Prabowo adalah merupakan gabungan pasangan nasionalis dan agamais "terpaksa" tidak terwujud alias buyar. Berbeda dengan kubu Jokowi, apa yang diimpikan dalam ijtima ulama pendukung Probowo justru terwujud dalam pasangan Joko Widodo (nasionalis) - KH Ma'ruf Amin (agamais).
Menurut pemberitaan di media massa, biaya logistik untuk mengikuti "pesta demokrasi" pilpres dan pasangannya cukup fantastis, yaitu mencapai sekitar Rp1 triliun, dan mungkin itulah penyebabnya Probowo memilih pasangan yang dapat meringankan biaya logistik dalam Pilpres 2019 mendatang.
Harian Waspada terbitan Medan dalam Tajuk Rencana halaman B8 (kiri) pada Jum'at, 10 Agustus 2018 di alinea ke 7 menulis : "Oleh karena itu, Prabowo merasa perlu bertemu dengan SBY untuk menindaklanjuti kesepakatan sebelumnya. Bisa saja pasangan Prabowo dengan Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) untuk menarik pemilih kalangan muda (mileniah) namun lagi-lagi terganjal dana untuk logistik yang diperkirakan mencapai Rp1 triliun sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menalangi dana luar biasa besar untuk Pilpres."
Berdasarkan fakta tersebut penulis berpendapat, penolakan Ustadz Abdul Somad yang dicalonkan atas dasar Ijtima Ulama untuk jadi Bakal Calon Wakil Presiden mendampingi Bakal Calon Presiden usungan ulama, yaitu Prabowo Subianto adalah sangat tepat dan cerdas.
Artinya Abdul Somad lebih memilih jadi ustadz dari pada menjadi seorang wakil presiden. Kalau Ustadz Abdul Somad mengikuti kemauan hasil keputusan Ijtima Ulama untuk "banting stir" masuk ke arena politik praktis pasti puluhan ribu umat yang selalu merindukan ceramahnya akan kecewa berat. Predikat Ustadz Kondang sudah jelas. Sedangkan untuk menjadi seorang Wakil Presiden masih berada di awang-awang karena masih harus bertarung keras dengan kubu Jokowi.
Syukur Ustadz Abdul Somad lebih memilih yang sudah jelas, dan ini terbukti bahwa dia memang tidak diinginkan oleh Prabowo sebagai pendampingnya walaupun sudah diputuskan dan direstui oleh Ijtima Ulama. Tetapi Prabowo lebih memilih Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha muda pemilik harta kekayaan sekitar Rp3,8 triliun.
Seperti kata pribahasa : Adat diisi lembaga dituang. Artinya : Mengerjakan sesuatu hendaklah menurut apa yang dibiasakan dan apa yang telah diadatkan.