Lihat ke Halaman Asli

Kesalehan Sosial vs Kesalehan Individual

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tema diatas terinspirasi dari sebuah film layar lebar yang berjudul “ ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI “, sebuah film yang dibintangi oleh artis kawakan dan dilakoni oleh sutradara yang handal. Dalam film tersebut terdapat deretan pesan moral dan kritik tajam terhadap perilaku, cara pandang masyarakat, tokoh agama maupun kebijakan pemerintah sekalipun tak terkecuali sang preiden sebagai pemegang kekuasaan di negeri ini.

Berbagai macam cara dilakukan oleh semua orang untuk mendapatkan tujuan dan keinginannya di dunia tanpa mau membedakan mana yang haram dan mana yang halal. Memang ironis sebuah ungkapan yang menyatakan “ Buat apa mencari yang halal, mencari yang haram saja susahnya minta ampun di negara ini “.Sebuah pernyataan klise dan permisif dari seorang anak bangsa yang mencoba untuk mendeskripsikan betapa susahnya membangun moralitas individu dari semua elemen bangsa yang katanya punya karakter bangsa yang berperadaban tinggi.

Patut kita apresiasi seandainya dalam diri setiap orang ada sebuah kesalehan sosial yang melekat dan mengakar dengan kuatnya, sehingga teori perubahan sosial itu bisa berjalan dengan efektif. Namun untuk mencari sosok sang pengubah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses yang begitu panjang, walaupun ada, mungkin hanya segelintir orang yang memiliki komitmen kuat dalam hatinya dan itupun mungkin lahir dari sebuah keluarga sederhana yang mencoba meraih impiannya menjadi seorang sukses dengan titel kesarjanaannya. Dalam perannya tersebut dia mencoba untuk mencari sebuah pekerjaan yang layak dengan statusnya, namun karena persaingan yang ketat dan kehidupan yang keras di perkotaan, akhirnya dia kandas dan terjebak ke dalam dunia maling ulung (pencopet).

Namun lama kelamaan naluri dan hasrat idealismenya untuk merubah keadaan tersebut berbuah hasil. Dengan pendekatan persuasif dan psykologis yang ditunjang dengan latar belakang keilmuannya, akhirnya komunitas pencopet yang menjadi bagian dirinya perlahan-lahan berubah menjadi komunitas yang indah dengan nilai-nilai Pancasilais dan Religius, terbalik dengan orangtua disekitarnya yang notabene mengaku sebagai tokoh dan pemuka agama, mereka hanya sekedar memperbanyak kesalehan individu pribadi dengan cara i’tikaf di masjid, berzikir dll yang bersifat ritual tanpa mau peduli dan berusaha untuk merubah komunitas disekitar mereka menjadi komunitas yang bermoral dan sarat dengan nilai-nilai agamis, sehingga nilai kesalehan mereka hanya stagnan sehingga tidak bisa merubah tatanan sosial masyarakat yang humanis. Begitu juga dengan para pejabat yang hanya sibuk memikirkan kepentingan pribadinya, bagaimana cara untuk memperkaya diri dengan berbagai macam cara baik itu dengan korupsi, kolusi, mark up proyek maupun untuk mempertahankan kedudukannya di kursi jabatan dengan mengahalalkan berbagai macam cara.

Mungkin inilah sebuah fenomena yang sedang terjadi disekeliling kita. Kadang kita tidak menyadarai bahwa kesalehan yang kita miliki itu hina dimata Tuhan, sedangkan kesalehan yang dimilki oleh orang-orang yang menuntut perubahan di negeri ini betul-betul mulia dihadapan Tuhan. Kenapa ? Mungkin karena kita hanya asyik dengan ritual-ritual pribadi kita sendiri tanpa mau memperhatikan dan peduli orang-orang di sekitar kita. Hingga saat ini kita belum sadar bahwa pada dasarnya kita masih berjalan pincang dengan ketakwaan dan kesalehan kita. Disatu sisi kita memiliki kesalehan personal yang tinggi pada Tuhan sementara disisi lain hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita acuhkan.

Padahal agama pada dasarnya diwahyukan untuk memberikan petunjuk dan way of life bagi manusia. Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal dan jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dan kesalehan sosial keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertikal ataupun horizontal.

Hal ini dapat dicontohkan dengan sebuah fakta sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Diantara kita banyak sekali yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali akan tetapi ironinya kita masih belum memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap para fakir dan miskin yang hidup di sekeliling kita padahal ibadah haji pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial terhadap sesama bukan dimaknai sebagai tour dan wisata jalan-jalan.

Kelihatannya terlalu idealis untuk menyeimbangkan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, akan tetapi kelihatannya tidak bijak jika kita tidak mencobanya dan menerapkannya dalam kehidupan manusia. Agama akan kering dengan hanya menitik beratkan pada pemaknaan yang bersifat individual tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial didalamnya.

Tugas paling besar yang diemban oleh agama adalah transformasi dan kontrol sosial, yang dimaksud disini adalah menggerakkan dinamika ajaran agama menjadi sebuah kerja kreatif yang selalu kontekstual dengan realitas dimana agama tersebut eksis sehingga agama tidak kehilangan maknanya dalam dimensi yang berbeda, disamping itu agama juga mutlak ditransformasikan dalam sendi-sendi kehidupan manusia agar agama tidak selamanya melangit hingga tak terjangkau pemahaman manusia. Disinilah mungkin transformasi itu kita tanamkan dikalangan masyarakat yang hanya memahami agama dari sisi vertikal tanpa mau peduli dan peka dengan nilai-nilai horizontal yang ada dimasyarakat.

Selain fungsi diatas, agama juga dijadikan sebagai kontrol sosial yang bertujuan membawa norma-norma universal yang mampu memilah kaidah-kaidah susila yang baik dan menolak kaidah yang tabu dan terlarang. Agama juga memilki kekuatan untuk memberi sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggar prinsip universal tersebut dan memberikan pengawasan bagi yang lainnya agar tetap ada pada rel yang seharusnya. Dalam konteks inilah kontrol sosial itu ditujukan buat para pejabat negeri ini yang hanya berkutat untuk membela dan memperkaya kepentingan pribadi, golongan mereka sendiri tanpa mau empati terhadap kepentingan rakyat kecil di negeri ini.

Itu semua kembali kepada individu masing-masing, dari mana dan kapan harus memulainya, namun dalam bahasa agama dikatakan bahwa setiap manusia berkewajiban untuk memperbaiki saudaranya jika keluar dari jalur yang semestinya dengan sebijak-bijak cara, baik itu dengan kewenangannya, dengan fikiran dan tulisan ataupun hanya sekedar memohonkan petunjuk buat dia agar kembali ke jalan yang benar. Wallahu’alam.!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline