Lihat ke Halaman Asli

Kematian Si Ibu Tua

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah hampir
seperempat abad tinggal di Negeri Belanda, masih ada sajahal yang dapat membuatku terheran-heran.
Minggu lalu, kulihat beberapa orang mendatangi tempat tinggal tetangga selang
satu rumah dari kami. Aneh juga, pikirku.
Ibu tua dan anaknya, seorang bujang tua, yang tinggal di rumah itu
jarang sekali dikunjungi orang. Sudah sepuluh tahun kami tinggal di sini, namun
aku bahkan belum pernah bertandang ke sana. Kata orang, ibu dan anaknya itu
sangat mementingkan privacy mereka.< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />

“Barangkali si
Ibu meninggal,” kata tetangga depan rumah
ku.
Meninggal? Aku tak percaya karena beberapa hari sebelumnya masih kulihat Ibu
itu berjalan tertatih-tatih bersama anaknya. Setelah berdebat beberapa saat,
kuputuskan untuk menanyakan keadaan si
Ibu
tua itu. “Jangan!” kata tetangga depan rumah. “
Pasti mereka akan mengira kau orang yang nieuwsgierig-- ingin tahu urusan orang.
Lebih baik kita tunggu saja. Kalau sebentar lagi datang mobil jenasah, berarti
memang si Ibu itu sudah meninggal.” Aku agak heran mendengar usul ini, tapi
kuturuti sarannya. Lain lubuk, lain ikannya.
Dia memang orang Belanda
totok, sedang aku
hanyalah pendatang
dari Indonesia.
Lagipula, sebelum
mobil jenasah datang, pastilah ada yang memberitahu kalau si Ibu tua memang
sudah meninggal, pikirku.

Tunggu punya tunggu, tak ada mobil jenasah yang lewat dan
tak ada bendera kuning berkibar (orang Belanda tidak mengenal simbolik ini). Ah,
false alarm, pikirku.

Beberapa hari
kemudian, lonceng pintu rumahku berbunyi. Tetangga depan rumah
melambai-lambaikan kartu berwarna putih. “Lihat! Apa kataku?!” serunya dengan
nada kemenangan. “Si Ibu tua memang meninggal! Ini kartu pemberitahuannya.”
Sesaat aku terhenyak. Apa yang harus kukatakan? Orang Belanda pasti tidak
memahami atau menghargai ucapan ‘innalillahi
wa inna ilaihi rojiun.’
Kalau kukatakan:
‘Ikut berduka cita’, tetangga depan
rumahku pasti menganggapnya aneh. Si Ibu tua
itu tidak termasuk kategori ‘teman’; ia hanyalah ‘kenalan’ saja. Untuk
apa ikut berduka cita? Akhirnya, aku diam saja.

“Kapan
penguburannya?” tanyaku kepada tetangga depan rumah. “Kau mau pergi sama-sama?”
Tetanggaku tertawa. “Kita tidak diundang ke acara itu. Lagipula ia rupanya sudah
dikubur dua hari yang lalu!” katanya.

Astaga!
Bagaimana mungkin, ada orang meninggal namun tetangga-tetangganya tak ada yang
tahu? Belum sampai seminggu setelah peristiwa menyedihkan itu, tak ada lagi
orang datang mengunjungi si bujang tua yang ditinggal mati oleh ibunya.
Alangkah berat beban duka yang harus ditanggungnya seorang diri?

Hujan turun,
matahari bersinar, mobil dan sepeda lalu-lalang di depan rumah seperti biasa dan
seorang ibu tua yang pernah tinggal di jalan yang sama denganku, meninggal. Dunia
di sini tak berhenti berputar sekejap pun untuk merenungkan kepergiannya. Ia
dikubur di tempat dan pada waktu yang tidak diketahui oleh seorang pun tetangganya.
Tiba-tiba, sosoknya hilang begitu saja
dari jalan rumah kami; seolah-olah ia tak pernah ada.

“Aku mau mati di
Indonesia saja,” kataku kepada suamiku. “Atau, kalau aku mati di sini, tolong
beritahu tetangga-tetangga kita bahwa aku sudah tiada. Jangan sampai hidupku
(dan matiku) berlalu begitu saja, tanpa kesan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline