Lihat ke Halaman Asli

Pluralisme dan Politik

Diperbarui: 28 Oktober 2018   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pribadi)

 Urgensi Depp Dialogue dalam Pesta Demokrasi

Pada tanggal 28 Oktober 1928, sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia merekam satu peristiwa yang amat penting dan bahkan terpenting dalam sejarah terbentuknya sebuah bangsa. Barisan para pemuda yang mempunyai kesadaran bersama tentang masa depan bangsa ini menyalahkan semangat untuk mengikrarkan kedaulatan negara.

Peristiwa yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda merupakan puncak pengukuhan serta pengakuan keberagaman dalam wadah yang satu; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu Indonesia. Pengakuan dalam wadah yang satu ini bukanlah penyeragaman yang mengubah dan meleburkan identitas masing-masing elemen bangsa, tetapi justru menegaskan keberagaman atau kebhinnekaan.

Diskursus tentang pluralisme dalam bingkai etika politik dan demokrasi mendapat sorotan tajam seiring dengan menguatnya kesadaran tentang politik identitas dan politik diferensiasi. Politik identitas lahir dari kelompok partikular sebagai usaha untuk menangkal bahaya dominasi mayoritas liberal dan arus globalisasi dewasa ini. 

Secara gamblang kita memahami bahwa politik identitas pada mulanya lahir dari semangat rasa kesukuan, semangat individu, agama atau pun kelompok serta komunitas tertentu. Politik ini bersifat afirmasi ke dalam.

Sedangkan politik diferensiasi adalah politik yang terbingkai dalam keniscayaan kemejemukan hidup. Politik diferensiasi menuntut kita untuk mengakui menghormati takaran individual masing-masing atau keunikan spesifik dari yang lain.

Suatu pengakuan tentang tak terhindarkannya perselisihan paham yang rasional tentang kebaikan sesungguhnya sering kali digambarkan sebagai penerimaan terhadap pluralisme. Kehidupan manusia lantas tidak terlekat suku, agama dan unsur dalam dirinya masing-masing.

Jhon Rawls dalam salah satu tesisnya menyatakan bahwa semua masyarakat demokratis modern dicirikan oleh pluralisme doktrin-doktrin komprehensif (religius, filosofis dan moral) yang tidak bersepadanan namun rasional.

Keberagaman atau kemajemukan dilihat sebagai nyawa yang harus terus dihidupi. Aktus yang dihidupi sebagai bangsa yang berbhinneka tunggal ika mengamini bahwa kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari pluralisme atau keberanekaragaman.

Manusia dilihat sebagai makhluk individul sekaligus sosial. Disatu pihak menimbulkan konflik dalam diri manusia itu sendiri dan dengan sesamanya, tetapi di lain pihak juga membuat manusia dalam segala dimensinya menjadi menarik. Pluralisme yang nyatanya persifat paradoksal. Menarik di satu pihak namun dipihak lain mematikan.

Persoalan kemudian hadir sebagai kelanjutan dari kamejemukan bangsa ialah adanya tindakan amoral maupun inmoral. Konflik yang bernamakan agama maupun berdasarkan spesifikasi tertentu terhadap individu-individu hadir dalam upaya merusak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline