Malam itu suasana keriuhan masih berlanjut, saya masih berusaha untuk tidur dibalik bisingnya rintik hujan, riuh cakap babi hutan, dinginnya angin malam dan hembusan udara cemar kaos kaki. Berharap malam kelam ini segera berganti.
Hari berganti, mentari belum siap menyapa, namun dingin udara saat itu sangat menusuk. Himpitan badan teman teman pun masih tidak cukup menutupi hembusan angin pagi itu. Saya terbangun dengan tubuh lelah dan sedikit menggigil, pagi itu hujan sudah berhenti menangis, sia sia air matanya cukup membuat sekitar tenda tempat kami beristirahat becek layaknya kubang lumpur. Beberapa rekan sudah terbangun dan sibu memasak air dan menyiapkan sarapan. Hari ini tampak cerah, saat kulihat langit yang jernih walau sudah sulit menemukan bintang, akibat mentari yang sudah buru buru datang. Aldo menawarkan seteguk kopi hangat, penanda mulainya aktivitas pagi itu.
Setiap orang sibuk dengan kegiatan masing masing, beberapa menyiapkan sarapan ala kadarnya, beberapa berusaha mencuci piring yang lengket dan tidak sedikit yang memutuskan mandi di dinginnya pagi yang menusuk itu. Mau di gunung apa di gurun, bodo amat, yang penting harum dan menawan. Saya sudah tentu tidak ada niat untuk mandi, jangankan mandi rutinitas pup pun akan saya tunda hingga mentari tiba menghangatkan jiwa. Setelah saya membantu tim masak dengan beberapa botol air, akhirnya saya memilih untuk menikmati Gunung Papandayan ini untuk terakhir kalinya, sebelum semua orang terbangun dan sibuk persiapan pulang.
Saat akan pergi, salah satu teman, Agnes. Sudah membawa kamera digitalnya, berencana mengabadikan keindahan Papandayan di pagi hari. Dia akhirnya ikut mencari beberapa titik foto. Setibanya di salah satu sudut gunung tampak mentari bersinar, ah dia selalu tepat waktu. Papandayan tampak lebih indah pagi itu. Sinar mentari yang pelan pelan menyinari bongkahan batu, dan rimbunan hutan menambah eksotis suasana pagi itu. Apakah saya di tempat berbeda? tidak, kita melewati tempat ini kemarin. Hanya saja, suasana dan cuaca pagi ini sangat cerah. Namun, alam yang indah ini tidak bisa ditangkap dengan sebuah potret digital. Dia jauh lebih indah dipandang dengan mata telanjang. Hangatnya mentari membuatku ingin sejenak berbaring di tempat ini. Setelah menikmati suasana Gunung Papandayan beberapa saat, tim memanggil kami untuk bersiap pulang. Sayang, ini terakhir kami disini, entah kapan lagi.
Sekitar satu jam berlalu, kami sudah siap pulang. Semua sudah siap dengan tas gembol masing masing, tidak lupa ALdo membawa sebongkah besar sampah plastik untuk dibuang di tempat sampah. Kami tidak ingin keberadaan kami yang sementara ini merusak keindahan Papandayan. Sembari berjalan menuruni gunung, kami sempatkan diri untuk beberapa kali berfoto di keindahan gunung yang tidak bisa kami nikmati di hari sebelumnya. Sedangkan saya, masih ingin menikmati bercengkarama dengan alam. Sepanjang perjalanan turun, saya berhenti dan duduk di satu tempat, melihat lagi sisi lain Gunung ini. Sayang tiba tiba kaki saya terkilir ketika hendak berjalan kembali. Teman teman sudah jauh di depan. Sakit.
Saya hampir tidak bisa menggerakkan kaki kiri saya, karena sakitnya luar biasa, namun saya terus mencoba berjalan pelan pelan. Kala itu, saya sedang melewati bagian terjal dan sempit. Beberapa pendaki berlawanan arah sempat memberikan bantuan tangan, agar saya tetap bisa turun perlahan. Teman teman yang lain sudah sampai di pos 2, tempat beristirahat sejenak. Saya datang terlambat, namun masih tidak terlampau jauh waktunya. Sedang saya tidak melihat Aldo, sepertinya dia sudah sampai di parkiran mobil. Di perjalanan terakhir pun saya masih tidak bisa berjalan nonstop, masih beberapa kali berhenti di suatu tempat mengistirahatkan kaki yang terlampau lelah. Ini Gunung Papandayan yang katanya untuk pendaki pemula. Apa saya yang terlalu lemah. Sampailah kami di parkiran, beberapa orang bergegas membersihkan diri. Saya menyelesaikan tugas akhir yang menyulitkan, yaitu pup. Entah karena terlalu lelah, bahkan pup saja saya tidak sanggup. Namanya juga pemula.
Setelah semua selesai, kita melanjutkan perjalanan. Menyempatkan diri untuk makan bersama di satu tempat dan kembali bergegas pulang ke Cikarang. Namun ada sesuatu yang berbeda, suasana yang tidak ada pada saat kami berangkat. Suasana yang tidak juga di dapati saat kami berpetualang di Gunung Papandayan. Kami mengakhirinya dengan KEHENINGAN.
Awalnya saya merasa wajar, mungkin kami lelah. Namun tidak demikian, Keheningan itu berlangsung lama. Hingga sekarang. Ada yang mungkin meyadarinya ada juga yang tidak.
Bagi saya ini episode yang paling saya tidak suka, bagian akhir, ketika saya harus melanjutkan hidup saya, menemui realita demi realita. Ketika mimpi itu harus berakhir dan saya harus kembali ke dunia nyata. Bertahun tahun prokastinasi, enggan mengakhiri sebuah cerita. Berlama-lama hiatus supaya kisah terus berlanjut. Namun, tidak ada cerita baru, kalo tidak pernah mengakhiri cerita lama. Kisah perjalanan di Gunung Papandayan akhirnya pun harus berakhir, suatu saat mungkin kami akan kembali, dengan tim yang sama dan cerita baru, atau dengan kisah lama dengan tim yang baru. Bahkan, mungkin dengan cerita yang baru, tim yang baru dan gunung-gunung yang baru.
Jangan pernah menyerah melanjutkan cerita-cerita kamu, entah butuh waktu berapa lama juga. Dua tahun lebih setelah Kisah Papandayan, banyak hal telah terjadi, kehidupan tidak semata berakhir di cerita ini. Kamu punya cerita sendiri, ayo! bangun! kita berjalan lebih jauh lagi, masih banyak gunung yang belum didaki, masih banyak pantai yang belum kau singgahi.
***