Dalam Gereja Katolik, salah satu kaul yang diikrarkan oleh kaum biarawan-biarawan, dan juga dihayati oleh kaum tertahbis pada umumnya adalah selibat.
Hidup selibat dirasakan amat penting, pasalnya Gereja Katolik masih dalam zaman gelap, dan bahkan hingga sekarang (walaupun diam-diam, dipraktekkan secara terselubung), terjadi begitu banyak problem praktek seksual oleh biarawan-biarawan dan kaum tertahbis. Terjadi begitu banyak kasus pemerkosaan, phedophilia yang justru pelakunya adalah para pejabat resmi Gereja.
Lantas, kita bertanya, masih pentingkah atau masih relevankah hidup selibat dalam zaman modern ini? Kalaupun penting, bagaiman seharusnya memahami selibat, dan bagaimana seharusnya menghayatinya? Tentu terlalu berat untuk problem itu ditemukan jawaban dan solusi seutuhnya dalam tulisan ini. Tetapi batas kesadaran mendalam, terutama karena status saya sebagai seorang klerus, maka saya tergerak untuk menulisnya, dan boleh dikatakan, tulisan ini merupakan informasi tetapi sekaligus sebagai wanti-wanti.
Kita bertanya, apa itu selibat? Adakah dasar biblis, dasar hukum dan dasar teologisnya? Dengan ringan, dan dalam upaya sadar, saya akan mengutarakannya.
Yang pertama ;
Selibat berarti hidup tidak kawin dan hidup tidak menikah. Maksudnya ialah entah kawin bebas dengan siapa saja, dan apalagi hidup menikah, itu tidak diperbolehkan. Termasuk di dalamnya, praktek homoseks juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap selibat.
Yang Kedua;
Penginjil Matius, menulisnya dengan sangat jelas. Ketika para Murid, nampaknya terjebak dalam suatu "ketakutan" bahwa hidup suami-istri begitu sulitnya untuk setia, karena kasus perzinahan, murid-murid memberi jawaban, lebih baik tidak kawin atau tidak menikah (bdk.Mat.19:10).
Menyikapi jawaban pada Murid, Yesus segera mengambil sikap. Sebab kalau tidak, bahayanya ialah hidup selibat bisa dihayati sebagai pelarian atau karena ketakutan untuk tidak mau hidup menikah. Bisa saja, orang memilih menjadi biarawan-biarawan, atau kaum tertahbis karena takut atau mau menghindari problem-problem moral yang timbul pasca menikah.
Kemungkinan lain bisa terjadi bahwa orang-orang yang mengalami gangguan alat reproduksi secara biologis, misalnya impoten dan atau mandul, bisa menjadi alasan untuk menjadi biarawan-biarawati atau kaum tertahbis karena tidak ada gunanya hidup kawin atau menikah.
Yang ketiga :