Bulan Oktober ditetapkan sebagai bulan Rosario oleh Paus Leo XIII. Bulan ini dibaktikan secara khusus untuk Bunda Maria, sebagai bentuk penghormatan umat Katolik kepada Bunda Maria dengan berdoa Rosario.
Dengan berdoa Rosario, umat Katolik merenungkan kisah-kisah Yesus, yang hidup dalam doa dengan menempatkan Bunda Maria sebagai tokoh sentral, yang atas kesediaannya, Putera Allah lahir dan hidup bersama dengan umat Manusia di dunia ini.
Dalam rangka merayakan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, Paroki Santa Maria Fatima Betun, menempuh suatu kebijakan rohani di mana Bunda Maria diarak dari Lingkungan ke Lingkungan.
Saya terkesima ketika tiba di satu Lingkungan yakni Lingkungan Toleon, Desa Umanen Lawalu, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Propinsi NTT, Rabu, 16/10/19.
Menariknya ialah umat Lingkungan Toleon, menempatkan Bunda Maria, bertakhta di Rumah Adat Uma Bein.
Saya perhatikan dengan sungguh, di samping pintu masuk rumah adat, ditempel sebuah gambar Bunda Maria menggendong Yesus Puteranya.
Kelihatannya sederhana, namun sesungguhnya membahasakan suatu makna mendalam bahwa pada prinsipnya dapat ditarik suatu titik antara adat dan Gereja.
Gereja, karenaya misinya mewartakan kabar gembira maka adat pun dipandang sebagai medan bagi Gereja untuk merajut kerja sama yang baik antara para tokoh Gereja dan tokoh adat.
Gereja tidak membenci adat tetapi sebagai orang beriman, pola rangkap iman atau dualisme iman patut dihindari. Para tokoh adat pun tidak perlu memandang Gereja sebagai batu sandungan karena memang antara adat dan Gereja itu berbeda. Boleh dikatakan, praktek adat sudah ada jauh sebelum Gereja masuk dalam kehidupan umat manusia.
Lama sebelum umat manusia masuk berdoa dalam Gereja-Gereja, umat manusia dalam sejarah telah lama menjalankan praktek adat.
Pada akhirnya, saya ingin menyatakan, berdasarkan kenyataan seperti di atas, sebetulnya menunjuk pada suatu pemahaman para tua adat, para kepala suku tentang pentingnya penghormatan akan Bunda Maria dalam tata keselamatan umat manusia.