Selibat butuh sahabat. Sahabat butuh selibat. Bersahabatlah dalam selibat, di dalamnya, menghidangkan rasa lapar dan haus akan kemesraan illahi di dalam kemesraan insani.
Selibat akan kehilangan identitasnya tanpa mengikatkan diri pada kemesraan dengan Yang Illahi. Selibat akan berubah menjadi bencana ketika mendewakan kemesraan insani.
Selibat bukannya ada di persimpangan antara kemesraan illahi dan kemesraan insani. Selibat tidak bercorak antara-antara. Selibat itu sebuah kepastian. Yang paling pasti bagi selibat ialah menghayati kesendirian sebagai rahmat.
Selibat ada dalam kemesraan Illahi dan kemesraan insani. Selibat adalah rahmat terberkati yang memampukan setiap kaum terpanggil untuk mendekatkan diri pada Yang Illahi dan yang insani.
Ekaristi, Doa dan Keheningan adalah media illahi bagi para selibater untuk mendekatkan diri pada Yang Illahi.
Selibater selalu berarti berdaya dorong, bertubuh dan berdarah. Hanya dalam daya dorong yang benar, tubuh dapat berfungsi dengan baik.
Saya terkesima, membaca buku berjudul Sahabat Dalam Selibat karya Pater Patrisius Pa, SVD. Buku itu kaya nilai, terutama pengalaman bersahabat yang disajikan di dalamnya.
Selibat berarti hidup tidak menikah, itu berarti tidak kawin. Selibat berarti tidak hidup bersama layaknya suami-istri. Di sini selibat menunjuk pada kemurnian diri di dunia tanpa ikatan dengan kenikmatan duniawi sebagai antisipasi bahwa di Surga kelak tidak ada yang kawin dan dikawinkan.
Sebagaimana telah ditandaskan dalam Kitab Suci bahwa ada yang memilih hidup tidak menikah karena pilihannya sendiri demi Kerajaan Surga.
Karena selibat menunjuk pada kemurnian diri; yang bebas dari kenikmatan duniawi, maka praktek homoseksual dan segala praktek lain yang melibatkan tubuh untuk memuaskan nafsu turut dipandang sebagai penghambat hidup selibat.
Selibat bukanlah media untuk membenci seksualitas. Selibat adalah wadah bagi orang-orang terpilih untuk menyadari bahwa daya dorong yang baik tidak selalu harus disalurkan melalui hidup menikah.