Ingin aku bernyanyi dalam harap dan kutuk. Menempatkan segudang kata pada secuil nasib para busung yang berkelana dalam tuntunan rebis-rebis pisau.
Tak lebih dari menyuarakan luka, yang makin diam, gelembungnya makin borok ke dalam.
Lembayung berwarna-warni melilit pohon, pelak perlahan namun pasti, membekas menutup sebagian kulit. Inginnya mengekang pohon rindang yang tumbuh sejak para leluhur berhati pada darah-darahnya.
Tatkala bangsa manusia, getolnya bak sebatang lilin yang hampir punah termakan arus panas, saya memilih menanam sadar dalam-dalam. Memberinya pupuk peduli. Menumbuhkan pohon rindang, tempat berteduhnya para busung di kala dahaga mereka masih jauh dari sumber air.
Dalam tatapan, ratapan berderai air mata, rindu berkecamuk memihak posisi wajah para dahaga yang serba kaku dalam pembaringan.
Mereka hanya inginkan satu kata dan satu laku ; pandanglah kami, ulurkanlah......untuk kami.
Rerintihan para dahaga, gaungnya terbius dalam kesibukan para pemilik sumber air.
Mereka mengukir luka dalam lupa, dan memang mereka lupa, kalau pertiwi ini adil.
Meraka tahu kalau sumber air sudah dekat, namun dengan personil yang membengkak, jumlah tangan besi yang lebih kuat, sumber itu dijauhkan ke mana mereka suka dan didekatkan kapan mereka butuh.
Rerintihan para dahaga, kelak alam mendapatkanmu dengan hukumnya, namun adillah. Biar cukup segelas air, susu dan madu, kami dapat hidup.
Bagai rusa merindukan air, kamipun tak ingin yang lebih.