Acungkan lengan kananmu, daratkan kepalannya pada pelatuk burung nazar yang sedang menunggu si cilik untuk memangsanya.
Si cilik itu, rupanya sedang antrian makan pada rumah tuannya. Suara tuannya terus melengking. Semakin melengking, si cilik itu rasanya semakin jauh. Prajuritnya diperintahkan mengabadikan elegi segenggam beras si cilik berwarna gelap itu.
Alhasil seru, ketika sang tuan memakukan niatnya pada kursi yang nikmat itu, dengan penuh amarah, ia menikung ulu hati si prajurit karena meminta agar si cilik dikabulkan permintaannya. Dengan sinis, ia memberi peluang pada burung nazar yang menanti memangsa si cilik.
Burung nazar tenang menanti kapan saatnya yang tepat. Mustahil, kali ini, seekor burung nazar bisa setia. Mungkin saja burung nazar menginginkan agar si cilik itu secepatnya menjadi bangkai, biar supaya tuan itu bangun dan pergi daripada ia di situ dan tak peduli. Tak apalah, itu burung nazar.
Namun sesalku ialah tuanku lebih kejam dari burung nazar. Baiklah burung nazar, ia memberi kesempatan. Daripada tuanku yang kejam, ia kikir hati, keras gigi, mahal tangan dan berat langkah.
Seandainya ia baik hati, ia tak perlu membuang tenaga untuk mengusir burung nazar itu. Cukup dengan segenggam beras buat laparnya si cilik itu, si burung nazar akan tahu diri untuk pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H