Manusia tercipta sebagai pribadi, ia hidup bersama dengan pribadi lain. Dalam kebersamaan ini, manusia terpanggil untuk saling memahami dan saling memperhatikan. Sikap ini berjalan seturut apa yang dikatakan dalam Injil Matius 7:12, "Apa yang kamu harap orang lain perbuat kepada kamu, itulah hendaknya kamu perbuat kepada mereka".
Dengan demikian, rasa solidaritas menuntut pembaktian diri yang tulus untuk turut merasakan situasi derita dan situasi miskin sebagaimana dirasakan oleh sesama.
Paus Yohanes Paulus II merumuskan solidaritas sebagai tekad untuk tetap kontinu berkarya demi kesejahteraan bersama. Tekad ini digerakkan oleh cinta kasih dan rasa tanggung jawab. Karena manusia hidup bersama, maka sikap saling ketergantungan justru dipandang sebagai suatu sikap moral dan sosial.
Di sini, solidaritas bukanlah suatu perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh.
Sebaliknya, solidaritas merupakan tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum yang meliputi kesejahteraan semua orang dan setiap orang, karena kita semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang.
Adapun tanda-tanda solidaritas yakni berbagi barang-barang dan pelayanan umum, menghormati kepentingan orang lain, saling membantu dalam pengupayaan secara damai hak-hak asasi manusia.
Solidaritas merupakan ujud iman yang terungkap dalam tindakan kasih dan pengorbanan, tindakan berbagi harta, berbagi keprihatinan dan tindakan mendukung upaya perjuangan. Prinsip ini berurat-akar dan berpangkal pada pengalaman iman akan Yesus Kristus dengan rasa setia kawan dan belas kasihan-Nya pada mereka yang sakit, malang, miskin, menderita dan tertindas.
Di sini, solidaritas otomatis menentang sikap egois atau individualisme. Berkaitan dengan sikap individualisme ini, Paus Fransiskus dalam kunjungan ke Pulau Lampedusa-Italia (Juni 2013), Paus menandaskan bahwa kenyamanan yang membuat kita memikirkan diri sendiri, membuat kita tidak peka terhadap tangisan orang lain, membuat kita hidup dalam gelembung sabun, yang walaupun indah namun tak bermakna.
Pesan bagi seorang pemimpin ialah ia perlu membangun tekad hati yang teguh, tabah dan intens untuk membaktikan diri kepada mereka yang berkekurangan, mereka yang membutuhkan, mereka yang miskin dan mereka yang tertindas. Pembaktian diri ini patut digerakkan oleh suatu semangat cinta kasih yang mengabdi total pada martabat diri manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H