Tak dapat dipungkiri bahwa hidup berumah tangga dalam zaman modern ini berhadapan dengan berbagai tantangan. Begitu banyak keluarga akhirnya mengalami broken home karena berbagai faktor entah secara ekonomis, biologis, sosial maupun politis.
Ada lagu yang dinyanyikan versi Timor dengan penggalan kalimatnya adalah hidup berumah tangga, garam kurang biasa....dan seterusnya. Memang benar bahwa hidup berumah tangga memang tidak mudah karena dua kepala dengan pikiran dan hati nurani yang berbeda dikondisikan untuk hidup bersatu dalam rumah, satu meja dan satu ranjang.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa terdapat banyak orang, rambut mereka hitam semua tetapi pikiran mereka berbeda semua. Memang benar, setiap insan, keunikannya justru terletak pada perbedaannya dengan yang lain.
Walaupun demikian, segala perbedaan bukanlah alasan untuk memicu perpecahan. Seturut semboyan bangsa Indonesia tercinta bhinneka tungga ika; berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Di sini, secara nasionalis, perbedaan adalah kekayaan bagi bangsa ini dan serentak sebagai model bagi seluruh warga negara Indonesia yang bernaung di bawah payung Pancasila.
Membahas tentang hidup berumah tangga, ada sepasang keluarga yang kiranya dapat dijadikan sebagai kenyataan inspiratif bagi keluarga-keluarga lain. Kenyataan inspiratif ini bukan karena mereka lebih unggul daripada yang lain melainkan karena kebahagiaan hidup yang tercermin dalam cara menyapa, cara membawa diri dan cara menyelesaikan persoalan dalam hidup berkeluarga.
Terlihat jelas, bagaimana kegembiraan menghiasi Rian Djen sebagai kepala rumah tangga. Sosok kelahiran 06 September 1979 ini memiliki postur tubuh yang cukup tinggi. Tak kalah tinggi pula Elsiana Sandik, si ibu rumah tangga, yang berlahiran 06 Agustus 1982. Hingga kini, mereka dikaruniakan tiga buah hati yakni Salsa, Keisya dan Jastin.
Kedua pasangan suami-istri ini memiliki kebiasaan yang hampir sama. Sapa-senyum, canda-tawa dengan siapa saja adalah obat mujarab untuk menaklukkan rasa amarah. Sosok sang Ayah; Rian Djen pun memiliki register suara yang cukup tinggi dalam bernyanyi. Senyuman si ibu pun selalu meneguhkan anak-anak, ketika sang ayah mengekspresikan teguran kerasnya.
Menyimak hasil cerita dan hidup harian mereka, saya menemukan betapa kekuatan rohani (doa) sangat utama perannya dalam ketenteraman hidup berkeluarga. Hemat saya, keluarga yang baik adalah keluarga yang berkerohanian tinggi. Keluarga ini juga, banyak akrabnya dengan kalangan kaum berjubah di antaranya para pastor dan frater.
Saya sendiri secara pribadi mengalami betul, bagaimana cara mereka menyapa dan memperlakukan kaum berjubah atau boleh disebut rohaniwan Katolik. Tata krama benar-benar diutamakan dalam menyapa setiap tamu yang berkunjung ke rumah. Cara mereka mendidik anak-anak pun tidak kaku. Hingga kini, kedua pasangan ini telah menjalankan usia perkawinan dengan jangka waktu 13 tahun.
Berjalanlah terus hingga terminal kehidupan. Berbahagialah dalam hidup bekerluarga, karena atas itu, rahmat Allah makin bertambah-tambah dalam hidup harian dan terutama dalam menjalankan tugas harian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H