Politik sebagai ruang, kini dijejali dengan berbagai komentar dan pernyataan. Khususnya menjelang pilpres 2019, salah satu perilaku politik yang mendapat sorotan publik adalah perilaku kampanye.
Tentang kampanye ini ada bentuk-bentuknya. Hingga kini ada dua bentuk kampanye yang selalu didiskusikan yakni kampanye hitam atau black campaign dan kampanye negatif atau negative campaign.
Tokoh-tokoh politik dengan bereferensi secara normatif pada UU, misalnya Moh. Ali Sera, Mahfud MD, mereka menegaskan bahwa kampanye negatif boleh tetapi kampanye hitam tidak boleh.
Kampanye hitam tidak boleh sebab bercorak hoaks, yakni apa yang disampaikan merupakan wujud karangan atau rekayasa pernyataan non-faktual dengan tujuan melemahkan atau mendiskreditkan pihak lawan politik. Sementara kampanye negatif diperbolehkan sebab walaupun tujuan untuk melemahkan lawan politik tetapi pernyataan dibangun atas fakta yang benar-benar terjadi.
Hemat saya, pernyataan membolehkan ini bercorak kontradiktif ketika diperhadapkan dengan makna kampanye itu sendiri. Kampanye merupakan strategi politik untuk mendapatkan simpatisan politik dengan penajaman visi-misi yang berkonsentrasi pada pembangunan masyarakat. Dalam kerangka ini, prioritas kampanye adalah penajaman visi-misi dari kandidat politik bukan mengangkat fakta-fakta negatif lain untuk melemahkan pihak lawan.
Secara normatif memang diatur tetapi sebagai masyarakat kritis, dalam segala aktivitas politik mesti tetap memperhitungkan nilai humanitas politik. Apapun itu, kampanye politik tidak boleh mengorbankan aspek kemanusiaan. Politik tanpa memperhitungkan aspek kemanusiaan akan menyalahi makna politik sebagai ruang untuk mengabdi pada martabat manusia.
Rationalisasi defensif tentang kampanye negatif sekiranya tidaklah memadai ketika bangsa Indonesia ini tengah menggaungkan tentang tentang prioritas pembangunan bangsa. Pembangunan bangsa tidaklah cukup dan bahkan tidak memadai dengan cara mengungkit-ungkit fakta negatif lalu dibungkus dengan label normatif yang sebenarnya berisi diskriminasi dan diskredit.
Di sini, tuntutan posisi kritis kognitif tidak hanya fokus pada menghindari kampanye hitam. Posisi kritis kognitif termasuk di dalamnya menghindari kampanye negatif. Karena itu, posisi kritis kognitif dalam kampanye berarti prioritas pada penajaman visi-misi dengan menempatkan kondisi-kondisi bangsa yang membutuhkan pembenahan dalam kerangka tanggung jawab bersama, bukan ditimpakan hanya kepada salah satu pihak saja, dalam hal ini lawan politik.
Sebagai nasehat moderat, hendaklah setiap orang berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan bukan dengan menunjukkan kekeliruan atau kesalahan pihak lain tetapi dengan menunjukkan ketulusan internal dari dalam diri sendiri. Jika ada kekeliruan atau kesalahan pada pihak lain bukan dibiarkan dengan cara meredam tetapi petiklah itu sebagai peluang untuk saling berbenah. Jika ada kebaikan yang terpancar dari dalam diri sendiri, berbanggalah tetapi jangan saling meremehkan satu sama lain. Atas cara ini, politik sebagai ruang dihayati sebagai media untuk menempah kondisi damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H