Lihat ke Halaman Asli

Yudel Neno

Penenun Huruf

Imam dan Politik Menurut Ajaran Gereja Katolik

Diperbarui: 11 November 2018   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu sifat Gereja Katolik adalah apostolik. Disebut apostolik karena didirikan atas dasar para rasul (Ef. 2:20); dalam ajaran yang sama dengan ajaran para rasul; karena strukturnya yaitu diajar, dikuduskan dan dibimbing oleh para rasul melalui pengganti-pengganti mereka yakni para uskup dalam kesatuannya dengan pengganti Petrus (paus) sampai pada kedatangan Kristus kembali.[1]  Di sini para Rasul (dia yang diutus), diutus sebagai saksi atas kebangkitan Kristus dengan mengemban tugas mewartakan Injil ke seluruh dunia sebagaimana amanat misi Yesus sendiri, "Karena itu, pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus (Mat. 28:19).[2]

Atas amanat misi Yesus ini, setiap umat beriman dalam terang rahmat pembaptisan dan iman akan Kristus, mengemban tugas misioner Gereja sebagai saksi, garam dan terang bagi dunia.[3] Di sini muncullah tuntutan katolisitas Gereja bahwa Gereja pada prinsipnya diutus oleh Allah untuk menjadi Sakramen Universal keselamatan bagi dunia.[4]

Demi mewujudkan Gereja sebagai Sakramen Keselamatan bagi dunia, melalui pewarisan apostolik untuk melanjutkan misi dan kuasa para rasul, sakramen tahbisan imamat suci ditempuh sebagai jalan untuk menetapkan hirarki Gereja dengan misi dan kuasa untuk menggembalakan umat Allah.[5] Melalui sakramen tahbisan ini, para uskup sebagai pengganti para rasul mengalami kepenuhan rahmat tahbisan dengan dibantu oleh para imam dan para diakon yang lazimnya disebut hirarki Gereja. Para imam ikut berpartisipasi dalam imamat uskup untuk menunaikan tugas-tugas imamiah menurut kehendak Kristus sendiri.[6]

Dalam menjalankan tugas imamiah yakni menguduskan, mewartakan dan menggembalakan, mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus apabila mereka tidak mampu pula menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain selain di dunia ini. Para imam pun tidak akan mampu melayani sesama, apabila mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama manusia. Pelayanan para imam, atas alasan yang khas, muncul suatu tuntutan supaya mereka jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini ; tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini, mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala.[7]

Para imam sebagai bagian dari masyarakat tidak dapat menghindari martabatnya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia menempuh jalur politik sebagai media untuk membangun interaksi dan memperjuangkan kebaikan bersama. Atas alasan inilah, Aristoteles menyebut bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk politis karena bersesuaian dengan kehidupan sekelompok orang (polish) yang berkonsentrasi pada kebaikan bersama. Karena itu menurut Aristoteles, politik merupakan ilmu, aktivitas dan ruang yang paling cocok bagi manusia untuk memperjuangkan kebaikan tertingginya yakni kebahagiaan.[8]  

Tentang kebahagiaan yang patut dicapai melalui kehidupan politik, Prof. Dr. Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik mencatat bahwa kebahagiaan yang dimaksudkan dalam filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek idea-etis sebagai rambu-rambu yang dapat dipedomani dalam berpolitik.[9

Lantas bagaimana tanggapan Gereja Katolik mengenai politik? Apakah Gereja merupakan Institusi politik? Siapa saja yang perlu berpolitik? Bagaimana berpolitik? Apakah seorang imam diperkenankan untuk berpolitik? Kalaupun seorang imam diperkenankan, dalam otoritas dan bidang manakah ia harus terlibat? Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar penulis untuk mengkaji lebih dalam dengan mempelajari ajaran-ajaran Gereja tentang imam meliputi jabatan dan tugas serta politik meliputi  hakekat dan tujuan dari politik.

Dengan melakukan pengamatan pribadi dan interview bersama mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Keuskupan Agung Kupang, penulis berusaha mengkaji bagaimana mereka memahami imam dan politik serta relevansinya terhadap keterlibatan imam dalam bidang politik.

Seringkali kita mendengar pernyataan ataupun kritikan bahwa kaum klerus atau kaum tertahbis (imam) tidak boleh berpolitik atau terlibat dalam bidang politik. Dalam berbagai hajatan politik, kita pun menyaksikan aksi kaum klerus tertentu entah melalui mimbar Sabda, katekese-katekese dan pertemuan-pertemuan kelompok kategorial, menyelinapkan maksud politis (mempromosikan atau mempropagandakan) figur tertentu menjelang suksesi kepemimpinan politik. Menyikapi fenomen-fenomen ini, bagaimana tanggapan Gereja, khususnya tentang keterlibatan imam dalam berpolitik?

Gereja terlibat dalam bidang politik tetapi tidak dalam arti tindakan teknis. Gereja tidak memiliki wewenang teknis untuk memecahkan persoalan-persoalan politik. Apa yang lebih dahulu ditandaskan oleh Bapa Suci Paus Paulus VI dan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II  tentang Keterlibatan Sosial Gereja memiliki batas-batasnya.

Gereja tidak berwewenang dalam urusan yang bersifat teknis, mengingat bahwa tugas Gereja bukanlah pada bidang politik (institusi politik) dan ekonomi (institusi ekonomi). Tugas Gereja berkaitan dengan perilaku moral dan urusan kemanusiaan. Gereja adalah pakar perihal kemanusiaan. Gereja terpanggil sebagai pakar perihal kemanusiaan karena yang diperjuangkan adalah martabat manusia. Segala soal sosial yang menjerat martabat manusia, dalam terang Ajaran Sosial Gereja, diletakkan dasar-dasar semangat kristiani sebagai pedoman dalam usaha untuk membebaskan manusia dari segala problem sosial.[10]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline