Keutuhan harmoni kehidupan dapat dilihat dalam keselarasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya sebatas dalam hubungan suami-istri tetapi dalam berbagai macam sektor kehidupan misalnya di dalam sebuah lembaga, dalam gereja dan di tempat-tempat kerja. Keduanya secara serentak dapat saling meniadakan dan saling membutuhkan demi sebuah keutuhan. Harmoni mengandaikan adanya kerjasama yang baik dengan memanfaatkan potensi, keunikan dan tanggung jawab masing-masingnya. Sesekali waktu harmoni itu menglami cacat ketika yang satunya diabaikan. Dalam sejarah manusia, keutuhan harmoni indah yang diidam-idamkan pernah rusak oleh perendahan martabat kaum perempuan.
Praktek kebudayaan yang kental dengan paternalistik diskriminatif, menempatkan laki-laki lebih superior dari pada perempuan. Peran perempuan tidak dihayati menurut keadaan biologis, psikis, potensi dan keunikannya melainkan dihayati sejauh apa yang ditetapkan kebudayaan yang menyepelehkan atau mengabaikan bahkan menindas kaum perempuan. Terjadi perendahan martabat perempuan ketika kita melihat peran mereka yang telah dimanipulasi oleh pandangan kebudayaan yang salah. Kebudayaan seperti ini melanggar apa yang ditetapkan Tuhan bahwa laki-laki dan perempuan bermartabat sama dan bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya mencerminkan kebaikan dan kebijaksanaan Allah Pencipta karena laki-laki dan perempuan adalah sama-sama anak Allah.
Hingga saat ini perendahan terhadap martabat kaum perempuan masih terdengar dan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya kasus KDRT, pelecehan seksual, human traficking, bisnis pornografi dll. Perendahan martabat itu perlu dipulihkan melalui proses emansipasi wanita. Betapa tidak wanita itu bermartabat sama dengan laki-laki?
Kita dapat melihat martabat wanita yang begitu istimewa dalam iman dan ajaran Gereja Katolik tentang Bunda Maria. Sejak abad IV Maria digelari "Theo-tokos", "Dei-genitris" yang artinya melahirkan Allah. Seorang gadis terpilih yang melahirkan Yesus sebagai manusia yang sehakikat dengan Allah. Demikianlah Maria disebut Bunda Allah. Sebutan ini diresmikan dan didogmatisasikan dalam konsili Efesus tahun 431. Ia sepenuhnya adalah Bunda Allah sebab kebundaan itu menyangkut seluruh pribadi Yesus dalam kodratnya sebagai manusia dan sebagai Allah.
Dengan ini Bunda Allah adalah nama yang cocok untuk kesatuan dengan Allah yang dianugerahkan kepada perawan Maria. Kesatuan Maria dengan Allah mewujudkan rencana keselamatan yang dijanjikan Allah sendiri. Kesatuan itu menandakan kepenuhan waktu dimana Allah menjanjikan kelahiran anak-Nya. "Ketika genap waktunya, Allah mengutus anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan" (Gal. 4:4).
Dalam surat Apostolik Mulieris Dignitatem, Paus Yohanes Paulus II, dalam penjelasan tentang Theotokos, dikatakan bahwa kepenuhan waktu ini yang menyatakan keistimewaan martabat wanita yang berupa pengangkatan adikodrati kepada persekutuan dengan Allah dalam Yesus Kristus yang menetukan tujuan akhir keberadaan setiap orang baik di bumi ini maupun di keabadian. Selanjutnya dijelaskan bahwa Rahmat Roh-Kudus yang ditanggapi dengan iman oleh Maria dalam percakapannya dengan Malaikat menyempurnakan dan mengangkat kodratnya. Kepenuhan rahmat dan kenyataan Theotokos menjadi tanda kepenuhan kesempurnaan dari "apa yang menjadi sifat seorang wanita", "apa yang menjadi ciri kewanitaan". Realitas Maria "Wanita-Bunda Allah" menentukan cakrawala pokok refleksi tentang martabat dan panggilan kaum wanita.
Kisah iman Maria menggambarkan bagaimana seorang perempuan mempunyai peranan yang penting dan dapat dipercaya serta diandalkan. Kisah itu menggambarkan kemampuan perempuan mencapai tujuan tertinggi yakni keselamatan. Dalam kesatuan dengan Allah, Maria telah menunjukkan perilaku beriman yang penuh dengan memasrahkan diri dalam rencana Sang Pencipta demi keselamatan manusia. "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Melalui keberimanan Maria itu, ia senantiasa memiliki peran yang penting sepanjang sejarah keselamatan manusia. Keberimanan Maria memungkinkan keselamatan masuk ke dalam dan berlangsung sepanjang sejarah. Maria menjadi sarana keselamatan.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana perempuan turut dalam tindakan yang menyelamatkan. Hal ini membongkar dan merongrong apa yang sering terjadi bahwa perempuan sering dijadikan sarana keangkuhan, keserakahan, ketidakadilan, kekasaran, kesadisan, kejengkelan dan semua perilaku buruk manusia terutama oleh kaum laki-laki. Orang sulit menerima dan menemukan keselamatan dalam dan melalui diri seorang perempuan. Orang cenderung memandang dan memperlakukan dari dimensi fisiknya semata; kaum yang lemah, menggoda dan sensual. Kekhasan dan keunggulan perempuan akan dikenal lebih dari sekedar pandangan yang dangkal itu.
Kita menemukan keunggulan perempuan dalam hatinya. Hati yang cepat percaya karena lebih mengandalkan perasaan dari pada rasio, nalar, nyali atau akal budi. Inilah letak kekuatan wanita. Kekuatan ini menjadikan perempuan begitu tanggap atas kebutuhan dan situasi. Kekuatan hati ini memudahkan tindakan penyelamatan.
Bandingkan peran mama atau ibu kita di rumah dalam mengatasi setiap kebutuhan anak-anak dan suaminnya atau sang ayah lalu bayangkan apa jadinya jika di rumah-rumah tak ada wanita sebagai ibu atau saudari. Lebih jauh dan mencemaskan lagi jika dunia tanpa wanita. Cara pria mendewasakan dunia tak mungkin tanpa wanita sebab ia tak dapat berbuat dari dirinya sendiri. Di belakang pria yang hebat selalu ada wanita yang hebat. Louis Evely seorang teolog Perancis mengeluarkan pandangan bahwa "laki-laki memanusiakan dunia tetapi wanita memanusiakan laki-laki". Kiranya ini kembali mengingatkan kita realitas harmoni yang membutuhkan pribadi laki-laki dan perempuan secara tak terkecuali.
Keduanya untuk dan akan saling melengkapi, maka tak sepantasnya martabat kaum perempuan dilecehkan. Peranan kaum perempuan tidak boleh dilihat sebatas sarana untuk kepentingan tertentu demi sebuah sukses melainkan dihayati dalam kerangka keselamatan. Sebab sebagaimana halnya Bunda Maria memiliki hati yang suci dan mengimani Allah secrara penuh telah turut mewujudkan pemenuhan janji keselamatan bagi manusia dalam diri Yesus Kristus.